Berdirinya Dinasti Ayyubiyah


Runtuhnya Dinasti Fatimiyah
Kemunduran Dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah kekuasaan al-Aziz. Pengganti al-Aziz, Abu Ali Manshur al-Hakim (996-1021) baru berumur Sebelas tahun ketika naik tahta. Pemerintahannya di tandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen (1009). Dia memaksa umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, dan mereka hanya dibolehkan menunggangi keledai, setiap orang Kristen diharuskan menunjukkan salib yang dikalungkan di leher ketika mandi, sedangkan orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng. 

Al-Hakim adalah Khalifah ketiga dalam Islam, setelah al-Mutawakil dan Umar II, yang menetapkan aturan-aturan yang ketat kepada kalangan non Muslim. Jika tidak, tentu saja kekuasaan Fatimiyah akan sangat nyaman bagi kalangan Dzimmi. Maklumat untuk menghancurkan kuburan suci ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdun, dan tindakan itu merupakan salah satu sebab utama terjadinya Perang Salib. Akhirnya, khalifah bermata biru ini mengikuti perkembangan ekstern ajaran Syi‟ah Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan tuhan. Keyakinan itu diterima dan diakui oleh sekte keagamaan terbaru yang disebut Druziyah. Nama sekte itu diambil dari nama pendakwa mereka yang pertama, al-Darazi (1019) yang berasal dari Turki. Pada 13 Pebruari 1021, al-Hakim terbunuh di Mukatam, kemungkinan oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya Sitt al-Muluk yang telah diperlakukan tidak hormat oleh Khalifah.


Karena al-Hakim masih terlalu muda ketika diangkat menjadi Khalifah, kekuasaan sesungguhnya berada di tangan wazir, yang kemudian sering mendapat julukan kebangsawanan “al-Malik”. Anak dan pengganti al-Hakim, yaitu al-Zhahir (1021-1035) berumur enam belas tahun ketika naik tahta. Khalifah inilah yang mendapatkan izin dari Konstantian VIII agar namanya disebutkan di masjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang Kaisar. Ia juga mendapatkan izin untuk memperbaiki masjid di Konstantinopel sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang di dalamnya terdapat kuburan Suci. Pengganti al-Zhahir adalah anaknya yang sebelas tahun, Ma‟ad al-Muntashir (1035-1094), yang berkuasa selama hampir enam puluh tahun, sebuah periode kekuasaan terpanjang dalam sejarah Islam. 

Pada periode awal kekuasaannya, Ibunya seorang budak dari Sudan yang dibeli dari seorang Yahudi, menikmati kekuasaan anaknya dengan leluasa. Sejak saat itu, kekuasaan Dinasti Fatimiyah mulai menyusut sedikit demi sedikit, bahkan lebih kecil dari Mesir. Pada 1043, kekuasaan Fatimiyah atas wilayah Suriah, yang memiliki ikatan longgar pada Mesir, mulai terkoyak dengan cepat. Di Palestina sering terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar yang datang dari Timur, yaitu Bani Saljuq dari Turki, kini membayang-bayangi wilayah Asia Barat. Pada waktu yang bersamaan, provinsi-provinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, berhasrat untuk memerdekakan diri, atau kembali kepada sekutu lama mereka, yaitu Dinasti Abbasiyah. Suku Arab yang sering menyusahkan penguasa, yaitu Banu Hilal dan Banu Sulaim, yaitu berasal dari kawasan Nejed dan sekarang mendiami dataran tinggi Mesir, pada 1052 memberontak, dan bergerak sendiri ke bagian Barat, kemudian menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun. 

Pada 1071, sebagian Barat wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah setelah Aglabiyah, dikuasai oleh bangsa Normandia, yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kawasan semenanjung Arab yang tetap mengakui kekuasaan Syiah. Di saat itu, hanya ada seberkas cahaya terang dari kesuksesan sementara yang dicapai di Baghdad oleh seorang panglima dan penakluk Turki yaitu Al-basasiri (1060). Kota Wasit dan Bashrah menggikuti Baghdad. Kain surban Khalifah Abbasiyah, yaitu al-Qa‟im (yang bahkan menyerahkan semua hak ke Khalifahannya kepada lawannya dari Dinasti Fatimiyah) jubah Nabi, dan sebuah jendela yang indah dari istananya, dibawa Ke Kairo sebagai hadiah. Surban, jubah dan dokumen–dokumen penyerahan dikembalikan ke Bahgdad sekitar satu Abad kemudian oleh Shalah Al-Din, tapi jendela rampasan itu digunakan disalah satu istana hingga sultan Baybar al-Jasynakir dari Dinasti Mamluk menggunakannya untuk menghiasi kuburan, tempat Ia di makamkan pada 1309.

Sejak masa kekuasaaan Ma‟add Al-Muntashir kekacauan terjadi di mana–mana. Kericuan dan pertikaian terjadi diantara orang–orang Turki, suku Berber dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh. Kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian Negara. Ditengah kerisauannya, pada 1073 Khalifah memangil seorang Armenia Badr Al-Jamali, seorang bekas budak, dari pasukan kegubernuran Akka, dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amir al-Juyusyi (komandan pasukan) yang baru ini mengambil komando dengan segenap kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada rezim Fatimiyah. Tapi keadaan ini tidak berlangsung lama. Usaha Badr maupun anak dan penerus al-Mustanshir yaitu al-Malik al-Afdhal, yang naik tahta setelah ayahnya meningal pada 1094, tidak dapat menahan kemunduran dinasti itu.

Tahun–tahun terakhir kekuasaan Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing–masing. Ketika al-Mustanshir mati, al-Malik al-Afdhal menempatkan anak Khalifah paling muda sebagai Khalifah dengan julukan al-Musta‟li dengan harapan bahwa ia akan memerintah di bawah pengaruhnya. Setelah al-Musta‟li anaknya yang berumur lima tahun, dinyatakan sebagai Khalifah oleh al-Afdhal, dan memberinya gelar kehormatan al-Amir (1101–1130). Ketika al-Hafizh (1130-1149) meninggal, kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan. Anak dan penggantinya, al-Zhafir (1149-1154) masih sangat muda hingga kemudian kekuasaannya direbut oleh seorang wazir dari Kurdistan Ibn al-Sallar, yang menyebut dirinya sebagai al-Malik al-Adil. Catatan-catatan Usamah, yang menghabiskan waktu antara 1144 dan 1154 di istana Fatimiyah, menunjukkan bahwa tidak ada istana yang bersih dari tipu daya, permusuhan dan kecemburuan.

Pembunuhan Ibn al-Sallar (1153) oleh istri cucunya Nashr ibn Abbas, yang kemudian dihasut oleh khalifah untuk menghabisi nyawa ayahnya, Ibn Abbas, pengganti Ibn al-Sallar sebagai wazir, juga pembunuh misterius al-Zhafir sendiri oleh suatu persengkongkolan, menorehkan satu bagian paling gelap dalam sejarah Mesir. Hari kedua setelah meninggalnya Khalifah, Abbas mengumumkan anak al-Zhafir yang berusia empat tahun, yakni al-Fa‟iz, sebagai khalifah (1154-1160). Khalifah kecil ini meninggal pada usia sebelas tahun, dan digantikan oleh sepupunya, al-Adhid yang berumur sembilan tahun. Ia menjadi khalifah yang ke empat belas dan yang terakhir dalam garis Dinasti Fatimiyah yang berkuasa selama lebih dari dua abad setengah.

Al-Mu‟tadhid mengirim utusan dari Baghdad dan mengantar surat kepada Nuruddin. Dalam surat itu ia meminta agar Nuruddin menarik pasukan tentara Turki dari Mesir. Namun Nuruddin menolak permintaan khalifah Fatimiyah itu. Ia juga memberitahu Fatimiyah bahwa saat ini Mesir berada dalam kekuasaan kerajaannya.

Dengan penolakannya itu, makin jelas betapa lemahnya kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan, Shalahuddin al-Ayyubi kemudian mendeklarasikan kemerdekaan Mesir dari Daulah Fatimiyah. Dengan demikian, khalifah Fatimiyah tidak lagi memiliki kekuasaan atas Mesir. Hal itu mendorong Shalahuddin al-Ayyubi untuk mendirikan Daulah Ayyubiyah di Mesir.

Raja Nuruddin di Syam bersepakat dengan Shalahuddin al-Ayyubi untuk meruntuhkan kekhalifahan Fatimiyah. Namun, Shalahuddin masih menunda-nunda rencana itu. Ia khawatir jika tindakannya akan membangkitkan kemarahan rakyat Mesir terhadapnya.

Penundaannya itu membuat Nuruddin berkali-kali mengirim surat untuk mengingatkan Shalahuddin. Akhirnya, ia mengirim peringatan tegas kepada Shalahuddin pada musim panas pada tahun 566 H atau 1171 M, untuk segera melaksanakan rencana mereka.

Shalahuddin akhirnya segera menjalankan rencana itu. Ia menghilangkan penyebutan nama al-Adhid dan menggantinya dengan Khalifah al-Mustadhi‟ dari kekhalifahan Abbasiyah. Hal itu ia lakukan saat ia menyampaikan khotbah Jum‟at. Tiga hari kemudian khalifah al-Adhid meninggal dunia.

Dengan demikian, punahlah kekhalifahan Fatimiyah yang telah memerintah negara Islam selama dua abad lamanya. Sebagai gantinya tampillah kekhalifahan Abbasiyah. Namun, kondisi tersebut belum membuat Shalahuddin al-Ayyubi tenang. Ia mengambil tindakan untuk mendirikan Daulah Ayyubiyah.

Tindakannya itu membuat Nuruddin yang berada di Syam marah besar. Namun Shalahuddin tidak memiliki pilihan lain. Hanya dua pilihan baginya, yaitu terus menjadi bawahan Nuruddin, yang dapat kapan saja memindahkan atau memberhentikannya, atau mendeklarasikan daulahnya sendiri. Dari kedua pilihan itu Shalahuddin memilih tindakan yang kedua.

Peranan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dalam Pendirian Dinasti Ayyubiyah1. 1. Biografi Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi
Di Irak ada sekelompok orang, yaitu suku Kurdi yang beragama Islam. Mereka memiliki adat dan tradisi tersendiri yang berlaku bagi mereka. Mereka juga memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Kurdi. Namun begitu, mereka lebih sering memakai bahasa Arab karena bahasa Arab adalah bahasa agama dan bahasa al-Qur‟an.

Di utara Irak ada sebuah benteng, yaitu benteng Terkrit yang dipimpin oleh Najmuddin, ayah Shalahuddin al-Ayyubi. Di bawah kepemimpinan Najmuddin, benteng itu begitu aman. Najmuddin adalah seorang pemimpin yang mencintai rakyatnya. Mereka merasa bahagia dengan kondisi seperti itu. Waktu itu terkenal jika rakyat benteng Tekrit adalah orang-orang yang senang membaca al-Qur‟an dan menjalani Sunnah Rasulullah SAW,. Mereka melakukannya karena meneladani pemimpinnya, seorang tokoh yang berakhlak mulia yaitu Najmuddin.



Pada tahun 532 H/1137 M lahirlah putra Najmuddin yang diberi nama Abul Muzhaffar Yusuf bin Najmuddin bin Ayyub bin Syaadi. Ia kemudian terkenal dengan nama Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi. Anak itu kemudian besar dan diasuh oleh ayahnya di dalam benteng Tekrit yang dikelilingi perkebunan, pepohonan, dan pohon kurma. Saat itu Najmuddin adalah orang yang paling berbahagia dengan kelahiran anaknya.

Shalahuddin dididik dengan baik dalam keluaraga yang terhormat. Akibatnya ia dapat menghaffal al-Qur‟an pada usianya yang kesepuluh. Ia rajin hadir di majelis ilmu, Fikih, Hadits, dan tafsir. Karena itulah Ia dicintai oleh guru-gurunya. Pada dirinya tampak tanda-tanda kecerdasan dan kejeniusan. Selain itu ayah dan pamannya juga mengajarkannya ilmu kesatriaan, berenang, bela diri, dan seni perang.

Ketika Imanuddin dapat menguasai kota Ba‟labak dengan utuh pada tahun 543 H/1139 M, ia menyerahkan kota itu kepada Najmuddin. Najmuddin pun diangkat sebagai gubernur kota, sejak itulah Najmuddin dan keluarganya pindah ke kota Ba‟labak. Di sanalah kemuliaan mereka kembali bersinar. Kehormatan keluarga Najmuddin kembali menyala, padahal sebelumnya ia merasakan hari-hari yang menyedihkan setelah diberhentikan dari kepemimpinan Benteng Tekrit.

Shalahuddin hidup di samping ayahnya. Ia belajar seni-seni memerintah dan akhlak yang mulia. Ayahnya pun merasa bergembira karena ia melihat Shalahuddin selalu menjadi anak yang lebih unggul daripada teman-temannya. Di samping itu, pada diri Shalahuddin juga tampak tanda-tanda kepemimpinan dan jiwa yang besar dan mulia.

Ketika Asadudin Syirkawah bergerak menghadapi pasukan Eropa yang memerangi negara Islam, ia mengajak keponakannya, Shalahuddin, untuk turut serta bersamanya dan terjun langsung dalam berbagai peperangan.

Berbekal pengalaman itu akhirnya Asadudin mulai memberikan beberapa tugas ketentaraan kepada Shalahuddin. Shalahuddin adalah seorang yang cakap dan menjadi pemimpin pasukan yang berhasil.

Ketika berita itu sampai kepada ayahnya, Najmuddin, maka ia pun merasa gembira. Ia menggantungkan harapan-harapan yang besar kepada anaknya, Shalahuddin. Ia pun selalu berusaha mengajarkan pengalaman-pengalaman perang dan teknik-teknik kepemimpinan kepadanya.

2. Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dalam pendirian Dinasti Ayyubiyah
Ketika Daulah Fatimiyah runtuh dan khalifah al-Adhid meninggal, diikuti dengan dinaikkannya kembali khalifah Daulah Abassiyah, maka Shalahuddin menolak untuk menjadi pemimpin pasukan tentara khalifah Mustadhi yang berasal dari Daulah Abbasiyah. Karena hal itu, Nuruddin mengkhatirkan kekuatan Shalahuddin di Mesir. Saat itu Nuruddin sudah mengetahui kekuatan pasukan Shalahuddin. Hal itu bisa diketahui karena sebelumnya Shalahuddin adalah pemimpin pasukan tentara khalifah Fatimiyah di Mesir. Terjadilah perselisihan antara Nuruddin dan Shalahuddin. Sebaliknya, Shalahuddin mulai memerintahkan para khatib di mimbar untuk menyebut namanya setelah nama khalifah Abbasiyah. Saat itu pula Shalahuddin mulai menyiapkan kekuatan karena takut mendapat serangan dari Nuruddin yang akan menurunkannya dari kedudukannya sebagai Sultan Mesir.

Di sisi lain, Nuruddin juga melakukan hal yang sama. Ia mulai mengkhawatirkan berkembangnya kekuatan Shalahuddin di Mesir. Menghadapi keadaan itu, Shalahuddin mengadakan mushawarah yang dihadiri oleh orangnya, Najmuddin, keponakannya, Taqiyuddin, dan beberapa pemuda dari keluarga Ayyubiyah. Mereka bermusyawarah tentang apa yang harus mereka perbuat menghadapi perkembangan saat itu.

Orang tua Shalahuddin, yaitu Syekh Najmuddin, juga pamannya memberikan saran agar ia bersikap baik dengan Nuruddin dan tidak membuat perselisihan dengannya. Karena Nuruddin yang telah memberikan jabatan pemimpin Mesir kepada Shalahuddin. Selain itu juga telah banyak berjasa kepadanya. Namun, di sisi lain para pemuda berkata bahwa mereka harus menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan serangan apa pun yang dilakukan oleh Nuruddin.

Waktu terus berjalan, dan Nuruddin telah meninggal. Dengan demikian, Shalahuddin tidak lagi merasa khawatir atas ancaman Nuruddin. Namun begitu, masih ada lawan-lawan bagi Shalahuddin. Mereka adalah kekuatan jahat dari kalangan pengikut Nuruddin di Syam, juga kelompok Syi‟ah di Mesir yang menuntun dikembalikannya kekhalifahan Fatimiyah, serta beberapa orang yang sakit hati yang menjalin hubungan dengan pasukan Salib dan bekerja sama untuk melawan Shalahuddin.

Setelah itu, mulailah Shalhuddin mengungkapkan sebagai konspirasi yang di ciptakan oleh para musuhnya. Ia juga memadamkan revolusi yang terjadi di Aswan serta berusaha mengamankan pemerintahan dan negaranya di Mesir. Shalahuddin berpendapat bahwa ia harus memerangi semua orang yang berusaha memecah belah negara Islam dan mereka yang mengadakan kerja sama dengan pasukan Salib. Di samping itu, ia juga membersihkan Mesir dari sisa-sisa agen Daulah Fatimiyah.

Selanjutnya, ia bergerak bersama pasukannya ke Syam. Ia memadamkan revolusi di sana dan membentuk pasukan yang besar untuk menghadapi serangan dari musuh-musuhnya. Dalam setiap gerakannya, ia dibantu oleh orang tuanya, Najmuddin , dan dua orang saudaranya.

Untuk memperkuat pertahanannya, Shalahuddin mendirikan benteng yang kuat di Kairo, juga beberapa benteng lainnya di penjuru Mesir. Benteng-benteng itu berfungsi sebagai perangkat untuk menjaga pemerintahan selain menjaga pintu-pintu masuk ke mesir, di Iskandariah dan Dimyath. Hal ini ia lakukan karena khawatir akan mendapatkan serangan dari pasukan Salib.

Selanjutnya, Shalahuddin mulai menghadapi ancaman pasukan Salib. Ia dibantu oleh saudaranya dan pamannya dalam memimpin pasukan perang. Saat itu, negara-negara barat sudah bersepakat untuk menghadapi Shalahuddin dan menghancurkan pasukannya yang kuat. Kesepakatan itu diambil karena mereka takut jika suatu ketika pasukan Shalahuddin akan mengancam mereka, juga dengan tujuan untuk menghancurkan kekuatan Islam.

Di sisi lain, negara-negara Eropa khawatir dengan berkembangnya kekuatan militer Shalahuddin. Mereka takut jika nantinya Shalahuddin akan dapat mengalahkan mereka. Oleh karena itulah para pemimpin negara-negara Eropa berkumpul dan membicarakan kemungkinan menyerang kekuatan Shalahuddin di Mesir. Tujuan meraka adalah untuk menghancurkan kekuatan Shalahuddin dan mengamankan negara mereka. Negara-negara Eropa serta Romawi itupun kemudian bersepakat untuk menyerang Mesir.

Ketika itu negara Fatimiyah dalam keadaan lemah dan tidak memiliki kekuasaan lagi. Hal itu memberikan kesempatan kepada Shalahuddin al-Ayyubi untuk mendirikan negara Ayyubiyah. Tepatnya diatas puing-puing reruntuhan Dinasti Fatimiyah.

Saat membangun negara Ayyubiyah, Shalahuddin mengandalkan kecintaan rakyat Mesir yang sebelum kedatangan Shalahuddin selalu mengalami kedzaliman dari penguasa mereka.

Karenanya Shalahuddin adalah pendiri Dinasti Ayyubiyah. Dia menghapuskan jejak-jejak terakhir kekuasaan Fatimiyah di Mesir dan mempromosikan di bekas wilayah kekuasaan Fatimiyah suatu kebijaksanaan pendidikan dan keagamaan Sunni yang kuat. Kemenagan Ayyubiyah di bekas wilayah Fatimiyah menyempurnakan arah reaksi Sunni ortodok yang di bawah Sajuq telah menyebabkan tumbangnya Syi‟isme politis di bekas wilayah Buwaihiyah. Aspek lain dari kebijaksanaan Shalahuddin adalah melancarkan jihad terhadap tentara-tentara Salib, suatu kebijaksanaan membuat antusiasme Islam bersatu dibelakangnya dan membuat dirinya mampu mempersatukan tentara Turki, Kurdi dan Arab di jalan yang sama. Dengan kemenangan Hathin pada tahun 583 H/1187 M, kota Jerussalem sekali lagi menjadi Muslim setelah delapan puluh tahun, dan orang-orang Frank tersingkirkan, meskipun hanya untuk sementara, dari hampir semua milik mereka kecuali untuk beberapa kota pantai.

Sebelum ia meninggal pada tahun 589 H/1193 M, Shalahuddin memberikan berbagai bagian dari kekaisarannya Ayyubiyah, termasuk kota-kota di Suriah, al-Jazirah, dan Yaman, kepada pelbagai anggota keluarganya. Sekalipun demikian, rasa solidaritas keluarga dan pengendalian dari pusat tetap ada di bawah al-Adil dan al-Kamil sampai al-Kamil meninggal. Di bawah kedua sultan ini, kebijaksanaan aktivis Shalahuddin memberikan tempat bagi hubungan detente dan damai dengan orang-orang Frank, khususnya ketika Ayyubiyah utara di Diyarbakr dan al-Jazirah merasa mendapat tekanan dari Dinasti Saljuq Rum dan Dinasti Khawarazm Syah. Puncak kebijaksanaan baru ini adalah dikembalikannya Jerussalem oleh al-Kamil kepada Kaisar Frederick II, dan periode damai membawa keuntungan ekonomi yang besar bagi Mesir dan Suriah, termasuk hidupnya kembali perdagangan dengan kekuatan-kekuatan Kristen Mediterrania.

Kebijakan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubiyah
Salah satu usaha yang paling berharga yang dimiliki oleh Shalahuddin adalah usahanya dan kemampuannya dalam mempertahankan negara pada saat-saat genting (meskipun berjalan sangat singkat), yaitu ketika moral politik sangat tidak baik. Pada saat itu dia dapat menunjukkan teladan yang baik dalam semua perilakunya. Shalahuddin dapat membuat “benteng-benteng persatuan” yang tangguh untuk menghadapi serangan dari berbagai penjuru. Shalahuddin melihat dengan jelas bahwasannya kelemahan bangunan politik Islam (kelemahan yang memudahkan negara-negara salib memperluas wilayahnya dan mempertahankan diri) adalah akibat dari keruntuhan moral politik Islam. Menurutnya, tidak ada satu jalan pun untuk memperbaikinya kecuali menghidupkan kembali esensi politik Islam di bawah naungan sebuah Daulah yang bersatu. Bahkan bukan di bawah kepemimpinannya, tetapi di bawah pengawasan khalifah Bani Abbasiyah.

Kekuatan politik dan militer tidak akan dapat memecahkan problematika yang dihadapi oleh dunia Islam. Oleh karena itu, untuk keberhasilan yang akan dicapai, Shalahuddin menyarankan untuk mengembalikan kepercayaan politik ke tangan orang yang berhak menerimanya dengan lapang dada dan jiwa besar. Keinginan Shalahuddin untuk memperteguh dan memperkuat kesatuan negara Islam tersebut menimbulkan keraguan sekaligus keheranan di kalangan kawan-kawannya sendiri.52 Kecakapan dalam mengatur dan memimpin negara sangat mengagumkan, setelah beratus-ratus tahun, ia berhasil dalam menyatukan berbagai elemen-elemen umat Islam di bawah bendera jihad, dengan membuat mereka melupakan permusuhan dan kecemburuan mereka demi kepentingan Islam.

Usaha dan perbuatan Shalahuddin dalam memperkuat persatuan wilayahnya sedikit demi sedikit menemukan hasilnya. Politik yang dijalankan Shalahuddin dalam memperkuat wilayahnya tersebut adalah membentuk suatu kerajaan Islam di bawah satu komando. Shalahuddin meneruskan perjuangan dengan pertempuran-pertempuran yang cukup sengit. Namun akhirnya dengan kegigihan dia dapat menguasai daerah-daerah di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Cita-citanya beliau adalah mempersatukan Islam di bawah satu bendera. Berbagai kemenangan dan keberhasilan pasukan yang dicapai telah memberikan sinar kecemerlangan bagi kekuasaan itu. Usaha Shalahuddin dalam mempersatukan wilayah Islam dia teruskan setelah menaklukkan Bairut, kemudian Eufrat, Mosul Amid, Syam dan akhirnya kota Aleppo. Kemudian Shalahuddin menyelesaikan segala urusan di kota tersebut.

Dengan semakin luasnya wilayah kekuasaannya maka semakin banyaklah tentara baru yang berhasil direkrut oleh Shalahuddin. Tibalah saatnya untuk melaksanakan segala cita-citanya. Cita-cita untuk mempersatukan dunia Islam. Sultan Shalahuddin berpendapat bahwa untuk menaklukan musuh (bangsa Eropa) tidak cukup hanya dengan menjatuhkan satu kota tertentu, contohnya daerah Kark. Karena daerah Kark ternyata mempunyai nilai yang strategis dimata Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Daerah ini sangat penting dan bermanfaat sekali bagi kaum muslimin. Terutama gangguan terhadap orang-orang Islam yang akan menunaikan Ibadah Haji. Dengan perhitungan seperti itulah dia tidak ingin berbuat ceroboh dan sembarangan dalam menyatukan wilayah Islam. Jika Shalahuddin dan pasukan-pasukannya mampu memaksa keluar musuh-musuhnya, maka penting untuk menyatukan kekuatan kekuatan orang Islam yang sangat besar. Untuk menciptakan satu kesatuan seperti yang dicita-citakan umat Islam itu sangat penting sekali melibatkan siapapun untuk mencoba melakukan satu ekspansi politik. Shalahuddin al-Ayyubi adalah salah satu pemimpin yang mencoba untuk melakukannya, walaupun harus membayarnya dengan peperangan terhadap orang-orang yang menghalanginya. Dengan begitu mereka akan menyadari adanya pendirian negara yang maju di bawah satu kesatuan dan kekuatan, seperti halnya di Mesir, Syiria serta di Jazirah Arabiyah.

Keinginan Shalahudin untuk memperoleh dukungan yang lebih luas dan kerja sama yang baik dalam memerintah serta menjadikan lingkungan yang Agamis, adalah tema-tema yang menginformasikan persatuan dan kesatuan di Baghdad dan tempat-tempat lainnya. Cara-cara di mana idealnya berjihad telah dikembangkan, disebarkan keseluruh masyarakat di bawah pemerintahan Shalahuddin, Shalahuddin menegaskan bahwa jihad yang pokok merupakan tugas para pemimpin muslim untuk ikut berpartisipasi. Penyatuan dunia Islam yang berjalan seiring dengan jihad terus menerus yang dikumandangkan oleh Shalahuddin. Shalahuddin bukanlah orang lemah yang membicarakan pemecahan tertentu sebagai ganti jihad. Sebab, melalui peperangan yang menggoncang eksistensi material, spiritual dan ideologi umat yang tidak mungkin mensukseskan tujuan yang jauh dari tujuan pertama, sedangkan semua tujuan datang dari sela-sela tujuan ini, karena masyarakat awam yakin, bahwa hal itu merupakan proses yang sepele dan menipu, namun Shalahuddin mampu menyatakan revolusi ekonomi dan kemasyarakatan, dan menarik perhatian masyarakat untuk melihat hakekat ancaman kaum salib yang harus mereka hadapi.

Shalahuddin bisa saja membicarakan perjanjian yang panas, dengan lawan-lawannya, atau membahas penyelesaian damai dan mengalah, sehingga fase pengukuhannya dalam panggung pemerintah berjalan lancar dan baru kemudian mengarah kepersatuan dan kesatuan kekuatan Islam. Musyawarah dan berunding merupakan tradisi dan kebiasaan yang dilakukan oleh Shalahuddin. Baik dalam menentukan siasat politik atau menyusun strategi menghadapi sesuatu peperangan atau kekaisaran. Shalahuddin bukanlah seorang yang suka bertindak semaunya, tidak pernah beliau memutuskan sesuatu tanpa musyawarah dengan para pembantunya, padahal sebenarnya beliau dapat saja bahkan memutuskan sesuatu sesuai keinginan sendiri. Shalahuddin terkenal pula sebagai orang yang cerdik, selama masa pemerintahannya dia tidak pernah memanfaatkan kecerdikannya untuk mempermainkan orang lain.

Salah satu bukti kecerdikannya adalah ia mampu menyatukan kekuatan muslim di daerah-daerah yang langsung berhadapan dengan tentara Salib. Dengan keadaan seperti itu Shalahuddin mampu melindungi putra Nuruddin dari pengaruh para pengasuhnya yang sudah mulai bekerja sama dengan tentara Salib. Di samping itu daerah kekuasaan Shalahuddin bukan hanya meliputi Mesir, Hijaz dan Yaman, tetapi telah meliputi daerah Syiria dan daerah Mesopotamia. Selama 5 atau 6 tahun Shalahuddin hampir terlihat dalam semua urusan di wilayah Mesopotamia tersebut. Hal itu diakibatkan karena daerah tersebut mempunyai masalah yang besar dan sangat sulit sekali untuk diatasi bahkan menjadi ancaman yang akan melelahkan. Pada beberapa kesempatan Shalahuddin mampu untuk membuat mereka mau diundang untuk turun tangan dalam permasalahan wilayah tersebut. Pada saat itu pula Shalahuddin khawatir bahwa wilayah Aleppo dan Mosul tidak seharusnya disatukan dalam wilayah yang saling bermusuhan.

(Sumber: G+)


0 Response to "Berdirinya Dinasti Ayyubiyah"

Post a Comment