Pembaruan Ekonomi Nasional


Kondisi perekonomian Indonesia yang buruk dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pelaksanaan sistem ekonomi kolonial, eksploitasi sumber daya alam pada masa pendudukan Jepang yang berorientasi pada kepentingan perang, atau sebagai akibat peperangan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.

Keadaan itu diperburuk dengan pelaksanaan taktik perang bumi hangus yang memporak-porandakan dunia flora Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah berusaha untuk memperbaiki perekonomian dengan mengeluarkan berbagai kebijakan di bidang ekonomi.


Pada awal kemerdekaan, terjadi inflasi yang sangat tinggi sebagai akibat tak terkendalinya peredaran uang Jepang. Pemerintah belum bisa melarang peredaran uang Jepang karena belum memiliki mata uang sendiri. Pada waktu itu, pemerintah mengakui beredarnya tiga mata uang, yaitu:
  • Uang De Javanche Bank,
  • Uang Hindia Belanda, dan
  • Uang Jepang.

Keadaan perekonomian Indonesia semakin parah sebagai akibat blokade laut oleh Belanda. Tujuannya adalah ingin menghancurkan RI melalui senjata ekonomi. Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah melalui Menteri Keuangan, Ir. Surachman merencanakan untuk mengeluarkan kebijakan pinjaman nasional dan telah disetujui oleh BP KNIP. Pinjaman itu diperkirakan mencapai Rp 1,000,000,000.oo yang dibagi menjadi dua tahap. Pinjaman itu akan dikembalikan dalam waktu 40 tahun. Kebijakan itu mendapat dukungan dari rakyat dengan bukti pemerintah mampu menghimpun tabungan rakyat sebesar Rp 500,000,000.oo.

Ternyata, keadaan perekonomian tersebut terus memburuk karena berbagai kebijakan Belanda yang mencampuri urusan Indonesia. Misalnya, Belanda mengeluarkan uang NICA untuk mengganti Jepang. Sementara, pemerintah Indonesia mengeluarkan uang kertas baru, yaitu Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Kemudian pemerintah mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946, mendirikan Banking and Trading Corporation (BTC).

Di samping itu, pemerintah berhasil menyelenggarakan Konferensi Ekonomi yang pertama. Konferensi ini menghasilkan beberapa kebijakan, seperti: 
  • Pembentukkan Badan Persediaan dan Pembagian Bahan Makanan (BPPBM) yang menjadi cikal bakalnya Bulog;
  • Pembentukan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN);
  • Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) atas inisiatif Menteri Kemakmuran, dr. A.K. Gani.

Sejak pengakuan kedaulatan, pemerintahan Indonesia dihadapkan dengan masalah gawat yang bertalian dengan dipertahankannya dominasi Belanda atas ekonomi Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa dalam KMB, pihak Indonesia telah menyetujui untuk menghormati hak-hak dan mengakui kepentingan-kepentingan perusahaan Belanda di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemerdekaan ekonomi belum tercapai karena beberapa sektor ekonomi Indonesia yang strategis masih dikuasai dan dikendalikan perusahaanperusahaan swasta Belanda. Ada lima perusahaan swasta Belanda yang
memegang monopoli kegiatan ekonomi di Indonesia, yaitu:
  • Jacobson dan van den Berg,
  • Internatio,
  • Borneo-Sumatera Maatschappiy (Barsumij),
  • Lindeteves, dan
  • Geo Wehry.

Kelima perusahaan itu sering disebut sebagai “the big five”, terutama karena sebagai pemegang monopoli kegiatan ekonomi Indonesia. Berkaitan dengan keadaan tersebut, sebagian besar rakyat Indonesia mendesak pemerintah Indonesia untuk mengurangi kekuasaan perusahaan-perusahaan swasta Belanda dalam mengeksploitasi sumber alam Indonesia, dan sekaligus mendorong dan mendukung perkembangan perusahaan swasta pribumi Indonesia. 

Mereka berkeyakinan bahwa keadaan perekonomian Indonesia yang kurang menguntungkan pada revolusi fisik merupakan bukti pelaksanaan sistem ekonomi kolonial. Pada masa kolonial eksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia dilakukan oleh dan untuk kepentingan penjajah. Atas dasar pemikiran di atas, maka kepemilikan asing dan non pribumi, khususnya orang Belanda dan juga Cina atas aset-aset produktif Indonesia dan pengendalian ekonomi Indonesia harus dikurangi atau dihapus sama sekali.

Secara umum, bangsa Indonesia belum memiliki konsep pembangunan ekonomi nasional yang jelas. Beberapa pemimpin nasional yang berpengaruh menganjurkan pengembangan ekonomi nasional menurut pola sosialis untuk menggantikan struktur ekonomi kapitalis yang eksploitatif yang telah diwarisi dari zaman kolonial. Sementara, Dr. Sumitro Djojohadikusumo (Menkeu Kabinet Natsir) menyatakan bahwa pembaruan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional harus dilakukan dengan menghidupkan kegiatan perdagangan dan menumbuhkan kelas pengusaha.

Pada waktu itu, keadaan pengusaha pribumi sangat lemah dan pengusaha non pribumi sudah kuat kedudukan dan modalnya. Oleh karena itu, Sumitro menggagas gerakan benteng, yaitu melindungi pengusaha pribumi dalam persaingan dengan pengusaha non pribumi dengan memberikan kredit. Berkaitan dengan gagasan tersebut, pemerintah mengucurkan dana pinjaman yang diberikan kepada 700 pengusaha pribumi. Di samping itu, pemerintah melaksanakan industrialisasi yang dituangkan dalam Rencana Sumitro, dengan sasaran:
  • Mengembangkan industri dasar dengan mendirikan pabrik semen, pemintalan, karung, dan percetakan.
  • Meningkatkan produksi pangan, perbaikan prasarana, dan penanaman modal asing.

Usaha mengatasi krisis moneter dilakukan pula oleh Kabinet Sukiman dengan cara nasionalisasi De Javanche Bank. Kendati mengalami krisis moneter, pemerintah melalui Menteri Keuangan Yusuf Wibisono masih memberikan perhatian kepada para pengusaha dan pedagang nasional golongan ekonomi lemah. Dengan pemberian bantuan itu diharapkan para pengusaha yang merupakan produsen dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume import. Seiring dengan peraturan membagi dua uang kertas, diadakan pula peraturan sertifikat deviden, suatu usaha untuk memberikan dasar yang sewajarnya bagi nilai rupiah. Sertifikat-sertifikat itu tidak pernah diperjualbelikan sebagai kertas berharga yang sebenarnya. Nilainya ditentuan oleh bank dan uang yang diterimanya diberikan atau dibayarkan kepada mereka yang berhak menerimanya.

Pada masa Kabinet Ali-Wongso, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo melaksanakan sistem ekonomi baru yang disebut Sistem Benteng sebagaimana digagas oleh Sumitro Djojohadikusumo. Sistem ini sering disebut sebagai Sistem Ali-Baba. Ali untuk menggambarkan pengusaha pribumi, sedang Baba untuk menggambarkan pengusaha non pribumi, khususnya Cina. Menurut Iskaq, pengusaha pribumi harus bekerja sama dengan pengusaha non pribumi dalam memajukan perekonomian Indonesia. Untuk itu, pemerintah akan menyediakan kredit melalui bank. Namun, sistem mengalami kegagalan karena pengusaha non pribumi lebih piawai dari pengusaha pribumi.

Akibat sanering uang yang dilakukan pemerintah pada zaman Ir. Djuanda, yaitu penarikan uang dari peredaran. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan berhasil menarik sekitar Rp 1,5 milyar. Dengan uang itu dapatlah
pemerintah membayar sebagian utangnya kepada Bank Sentral, untuk membiayai defisit anggaran. Pemerintah selalu mengambil uang muka dari De Javanche Bank (kini Bank Indonesia). Melalui cara tersebut sebagian uang muka dapat dibayar kembali. Dengan demikian, penyelesaian utang pemerintah dilakukan
dengan pinjaman ‘paksaan’.

Pada masa demokrasi liberal, Indonesia sering ditimpa gelombang pemogokan. Walaupun begitu perdagangan luar negeri masih berkembang baik. Bahkan, waktu itu Indonesia mampu membeli valuta asing sebagai simpanan. Simpanan valuta ini dapat dijual kembali, jika keadaan memaksa seperti pada pertengahan bulan Nopember 1952 Indonesia mulai menjual emasnya. Merosotnya cadangan emas itu menyebabkan nilai dasar barang ekspor Indonesia menjadi buruk. Di samping itu, untuk mengurangi inflasi pemerintah harus menyediakan barang sebanyak-sebanyaknya. 

Usaha pemerintah Indonesia untuk menuju ekonomi nasional, ternyata tidak mudah. Adanya peristiwa Tanjung Morawa (tahun 1952) menyebabkan Kabinet Wilopo jatuh. Peristiwa Tanjung Morawa menimbulkan heboh yang demikian besar. Jatuhnya Kabinet Wilopo dan munculnya kabinet baru di bawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo I menandakan suatu tahap baru dalam kebijaksanaan anti penanaman modal asing yang lebih militan. Hal ini antara lain terlihat dari usaha “Indonesianisasi” yang lebih intensif, misalnya dengan bantuan pemerintah Indonesia kepada pengusaha-pengusaha pribumi untuk mengambil alih bagian yang lebih besar dari berbagai kegiatan ekonomi, seperti perdagangan impor, perbankan, perkapalan dan penggilingan beras, yang dikuasai kepentingan ekonomi Belanda dan Cina.
Tanjung Morawa adalah suatu daerah kecamatan di Sumatera Timur di mana terdapat perkebunan yang dimiliki oleh asing, khususnya tembakau. Pada jaman Jepang, perkebunan itu ditinggalkan oleh kontraktornya dan oleh rakyat (dengan dorongan Jepang) perkebunan ini digarap untuk tanaman bahan makanan. Atas dasar isi perjanjian KMB, para kontraktor menuntut kembali hak atas tanah perkebunannya, dan pemerintah Republik Indonesia menyetujui tuntutan mereka. Karena tanah perkebunan itu dapat menghasilkan devisa yang diperlukan, maka kesanggupan pemerintah untuk menjamin modal asing yang ditanam di Sumatera Timur tadi diharapkan akan menarik lebih banyak modal asing yang ditanam di Indonesia. Petani banyak yang protes, tetapi disambut polisi dengan tembakan yang menyebabkan beberapa petani tewas.
Sebagai daerah bekas jajahan Belanda, Indonesia tidak memiliki banyak ahli, sehingga usaha mengganti sistem ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak menghasilkan perubahan yang berarti. Hal tersebut mendorong lahirnya berbagai kebijakan pemerintah mengalami defisit keuangan sehingga cenderung melahirkan kebijakan untuk mencetak uang baru yang menimbulkan inflasi. Inflasi dapat menghambat produksi dikarenakan adanya kenaikan upah. Pemimpin-pemimpin nasional yang lebih pragmatis menyadari bahwa PMA baru memang harus ditarik ke Indonesia untuk mengembangkan sumber-sumber daya alam Indonesia dan mendirikan industri modern yang disertai berbagai amandemen.

Undang-Undang PMA melarang PMA dalam beberapa kegiatan ekonomi, seperti pekerjaan umum, pertambangan, dan lapangan usaha lainnya di mana umumnya pengusaha-pengusaha pribumi bergerak. Meskipun pemilikan saham mayoritas tidak dilarang, namun Undang-Undang PMA ini menegaskan bahwa usaha patungan dengan mitra Indonesia akan diberikan prioritas. Situasi politik yang kacau, dan terutama nasionalisasi semua perusahaan Belanda bertalian dengan konflik mengenai status Irian Barat, jelas tidak menguntungkan usaha-usaha menarik arus PMA baru ke Indonesia. Malahan keadaan politik yang makin radikal dan makin anti kehadiran PMA di Indonesia, maka pada tahun 1959 Presiden Sukarno mencabut UU PMA tahun 1958. Usaha perjuangan pengembalian Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, dilancarkan pula lewat bidang ekonomi. Pada tanggal 18 Nopember 1957 diadakan rapat umum di Jakarta. Rapat umum ini kemudian diikuti dengan aksi pemogokan total oleh kaum buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. Pada tahun 1957 pemerintah segera mengambil tindakan antara lain :
  • Melarang beredarnya semua terbitan dan film yang berbahasa Belanda,
  • Penerbangan Belanda KLM dilarang mendarat dan terbang di atas wilayah Indonesia,
  • Mulai 5 Desember 1957 semua kegiatan Konsul Belanda di Indonesia diminta dihentikan.

Setelah itu terjadi pengambilalihan (nasionalisasi) modal dan berbagai perusahaan milik Belanda, yang kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1958. Berhubung waktu itu dalam keadaan darurat, militer berperan besar dalam nasionalisasi. Beberapa contoh perusahaan yang diambilalih oleh Indonesia antara lain :
  • Perbankan seperti Nederlansche Handel Maatschappy (namanya kemudian menjadi Bank Dagang Negara).
  • Perusahaan Listrik Phillips.
  • Beberapa perusahaan perkebunan.


0 Response to " Pembaruan Ekonomi Nasional"

Post a Comment