Kehidupan Sosial dan Politik pada Masa Orde Baru


Sejak pemberontakan Gerakan 30 September PKI berhasil ditumpas, bangsa Indonesia memasuki Orde Baru yang bertekad mulai menata kembali kehidupan ketatanegaraan dan pemerintahan. Bagaimanakah lahirnya Orde Baru? Bagaimanakah para pemimpin bangsa menata kehidupan berbangsa dan bernegara di masa Orde Baru?


1. Lahirnya Orde Baru
Pemerintah Orde Baru lahir diawali dari beberapa bukti penyimpangan oleh pemerintah Orde Lama terhadap ideologi Pancasila dan UUD 1945.
a. Tuntutan Pembubaran PKI
Setelah PKI didakwa sebagai dalang Gerakan 30 September, berbagai aksi pemuda, pelajar,dan mahasiswa dalam bentuk kesatuan-kesatuan aksi semakin meningkat. Kesatuan-kesatuan aksi tersebut antara lain KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia), KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia), dan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).

Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian secara politis terhadap oknum-oknum yang terlibat Gerakan 30 September PKI. Akhirnya, pada tanggal 26 Oktober 1965 mereka membulatkan barisan dalam satu wadah yaitu Front Pancasila. Ketidakpuasan masyarakat luas yang disebabkan oleh belum adanya penyelesaian politik terhadap peristiwa G 30 S/PKI dan situasi ekonomi yang terus memburuk, akhirnya meledak dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa dan pelajar. Dengan dipelopori KAMI, dimulailah aksi-aksi demonstrasi mahasiswa UI pada tanggal 10 Januari 1966. Dalam kesempatan itu, pada tanggal 12 Januari 1966 di depan halaman gedung DPR-GR mereka mengajukan tiga tuntutan yang kemudian dikenal dengan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) kepada pemerintah.  

Berikut ini isi Tritura.
  • Bubarkan PKI.
  • Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
  • Turunkan harga perbaikan ekonomi
Pada kenyataannya, Presiden Soekarno tidak menanggapi aksi-aksi para pemuda dan mahasiswa tersebut. Presiden Soekarno justru mengundang para wakil mahasiswa untuk mengikuti Sidang Paripurna Kabinet Dwikora pada tanggal 15 Januari 1966 di Bogor. Dalam sidang itu, presiden menuduh aksi-aksi mahasiswa didalangi oleh Nekolim (Neo Kolonialisme, dan Imperialisme), khususnya oleh CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat. Akhirnya, Presiden Soekarno memberi komando kepada seluruh rakyat untuk membentuk “Barisan Soekarno” guna mempertahankan kedudukannya. Selain itu, dengan dalih meningkatkan perjuangan revolusi, Presiden Soekarno melakukan reshuffle kabinet pada tanggal 21 Februari 1966. 

Susunan hasil reshuffle yang disebut Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, ternyata sangat mengecewakan harapan rakyat. Kabinet ini beranggotakan 102 menteri, sehingga disebut Kabinet 100 Menteri. Dalam kabinet ini diduga anggotanya banyak yang pro PKI, sehingga para mahasiswa menyebutnya Kabinet Gestapu. Dengan adanya kebijaksanaan dari pemerintah tersebut, maka pada saat hari pelantikan tanggal 24 Februari 1966 berbagai kesatuan aksi melakukan demonstrasi serentak di seluruh ibukota Jakarta. 

Dalam demonstrasi di depan istana, seorang demonstran yang bernama Arief Rahman Hakim, mahasiswa UI, gugur karena terkena peluru Resimen Cakrabirawa. Insiden berdarah ini menyebabkan semakin parahnya krisis kepemimpinan nasional. Sebagai akibatnya, pada tanggal 25 Februari 1966 Presiden Soekarno membubarkan KAMI. Dengan dibubarkannya KAMI, bukan berarti perjuangan para pemuda, pelajar, dan mahasiswa berhenti. Mereka masih tetap berjuang untuk menuntut pembubaran PKI.

b. Surat Perintah 11 Maret 1966
Untuk mengatasi krisis politik yang semakin memuncak, maka presiden memanggil Front Pancasila, PNI Ali Surachman, dan Partindo pada pertemuan tanggal 10 Maret 1966. Sementara itu, Presiden Soekarno didampingi oleh tiga Waperdam, yaitu Waperdam I Dr. Soebandrio, Waperdam II Dr. J. Leimena, dan Waperdam III Chairul Saleh.

Pada pertemuan tersebut, Presiden Soekarno meminta untuk mengutuk aksi-aksi mahasiswa yang telah menyebabkan kekacauan. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh partai-partai politik yang tergabung dalam Front Pancasila.

Mereka tetap menuntut supaya PKI dibubarkan. Karena pertemuan tersebut menemui jalan buntu, maka dilanjutkan keesokan harinya yaitu pada tanggal 11 Maret 1966. Pada hari itu sebenarnya akan berlangsung Sidang Paripurna Kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Namun di tengah persidangan, Presiden Soekarno meninggalkan sidang dan segera menuju ke Bogor yang diikuti oleh Waperdam I Dr. Soebandrio dan Waperdam III Dr. Chairul Saleh. Hal ini terjadi karena dilaporkan bahwa terdapat pasukan yang tidak dikenal yang berada di sekeliling Istana Merdeka.

Sementara itu setelah sidang berakhir, tiga orang Perwira TNI AD, yaitu Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Urusan Veteran), Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian), Brigjen Amir Machmud (Pangdam V Jayakarta), menemui Men/Pangad Mayjen Soeharto yang tidak hadir dalam sidang kabinet karena sakit untuk melaporkan hasil sidang dan meminta izin untuk menyusul Presiden Soekarno di Bogor. Tujuan mereka menyusul Presiden Soekarno ke Bogor yaitu agar Presiden Soekarno tidak merasa terpencil dan supaya yakin bahwa ABRI, khususnya TNI AD tetap siap sedia mengatasi keadaan, asal diberi kepercayaan penuh. Di Istana Bogor, mereka mengadakan pembicaraan dengan

Presiden Soekarno yang didampingi oleh ketiga Waperdam. Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, ketiga perwira tinggi itu bersama Komandan Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden), Brigjen Sabur, diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Men/Pangad Mayjen Soeharto. Surat perintah itu kemudian dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret atau yang disingkat Supersemar. Tanggal 11 Maret 1966 itulah yang dijadikan titik awal zaman Orde Baru atau tonggak lahirnya sejarah Orde Baru.

Surat Perintah 11 Maret 1966 pada pokoknya berisi agar Mayjen Soeharto selaku Men/Pangad mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintah dan jalannya revolusi.


2. Awal Pemerintahan Orde Baru
Setelah menerima Surat Perintah 11 Maret 1966, Letjen Soeharto (setelah menerima Supersemar pangkatnya berubah dari Mayjen menjadi Letjen) segera mengambil langkah atau tindakan atas nama presiden tanpa lebih dahulu konsultasi dengan presiden. 

Berikut ini langkah-langkah yang diambil Letjen Soeharto.
  • Pada tanggal 12 Maret 1966 Letjen Soeharto membubarkan PKI beserta semua organisasi massanya dan menyatakan bahwa PKI sebagai partai terlarang di Indonesia.
  • Pada tanggal 18 Maret 1966 menahan 15 orang menteri yang dinilai terlibat di dalam pemberontakan Gerakan 30 September PKI (diantaranya adalah Dr. Subandrio dan Chaerul Saleh).
  • Membersihkan MPRS dan DPRS serta lembaga-lembaga negara lainnya dari pengaruh PKI dan unsur-unsur komunis.
Sementara itu, untuk mengembalikan kemurnian pelaksanaan UUD 1945, maka para anggota MPRS mengadakan sidang dari tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966. Sidang yang dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution tersebut menghasilkan beberapa keputusan penting berikut.
  • Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang pengukuhan Supersemar dan mengesahkan kekuasaan politik Jenderal Soeharto sebagaimana yang terkandung dalam Supersemar tersebut sampai terbentuknya MPR dan DPR hasil Pemilu.
  • Tap MPRS No. X/MPRS/1966 menetapkan kedudukan MPRS sebagai MPR berdasarkan UUD 1945.
  • Tap MPRS No. XI/MPRS/1966 menetapkan penyelenggaraan Pemil paling lambat tanggal 5 Juli 1968.
  • Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, yaitu memberikan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto untuk membentuk kabinet baru sebagai pengganti Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini kemudian dinamakan Kabinet Ampera.
  • Tap MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang pemberian kekuasaan kepada Jenderal Soeharto untuk memegang jabatan presiden apabila sewaktuwaktu presiden berhalangan.
  • Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 berisi tentang pengukuhan atas pembubaran PKI dan ormas-ormasnya serta melarang penyebaran ajaran marxisme dan komunisme di Indonesia.
Dari berbagai ketetapan yang dihasilkan MPRS, dapat dikatakan bahwa MPRS berusaha mewujudkan kembali pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Selain itu, MPRS juga berusaha mengalihkan kekuasaan pemerintahan dari Orde Lama (pimpinan Soekarno) kepada Orde Baru melalu cara-cara konstitusional. Hal ini telah dibuktikan MPRS ketika menolak pidato pertanggungjawaban (Pidato Nawaksara) Presiden Soekarno di depan Sidang MPRS. Adanya desakan dan tekanan dari berbagai pihak, mendorong Presiden Soekarno untuk mengumumkan penyerahan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto pada tanggal 23 Februari 1967. Penyerahan kekuasaan ini kemudian dikukuhkan dalam Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 yang berisi pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Kemudian pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS, Jenderal Soeharto diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini dikukuhkan dalam Tap MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan Presiden Soekarno.



3. Kehidupan Sosial Politik Pada Masa Orde Baru
Masa Orde Baru merupakan masa kepemimpinan nasional yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen serta bertujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dalam negara Republik Indonesia.

a. Kehidupan Politik Dalam Negeri
1) Penyederhanaan Partai Politik
Salah satu ciri dari pemerintahan Orde Lama yaitu banyaknya partai politik tumbuh di Indonesia dan masing-masing mempunyai ideologi sendiri. Adanya sistem multipartai mengakibatkan sering terjadi persaingan dan bahkan saling menjatuhkan. Menyadari akan hal itu, Orde Baru mengambil kebijakan mengurangi jumlah partai politik di Indonesia. Partai-partai politik yang hampir sama asas dan kepentingannya diharuskan mengadakan pembaruan (fusi).

Berikut ini penggabungan partai-partai politik tersebut.
  • Pada tanggal 5 Januari 1973, NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), PSII, dan Partai Islam Perti bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
  • Pada tanggal 10 Januari 1973, PNI, Partai Murba, IPKI, Partai Katolik, dan Parkindo bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
2) Menerapkan Demokrasi Pancasila Melalui Pemilu
Untuk melaksanakan dan mewujudkan Demokrasi Pancasila, maka pemerintah Orde Baru menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu). Pemilu ini dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, kecuali pada tahun 1971 - 1977 yang dilaksanakan selang 6 tahun. Selama Orde Baru berkuasa telah melaksanakan 6 kali Pemilu, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Pemilu pertama tahun 1971 diikuti oleh 10 peserta, yaitu sembilan partai politik dan satu golongan karya. Partai politik yang ikut Pemilu tersebut adalah Partai IPKI, Partai Murba Partai Islam Perti, NU, Partai Katholik, Parkindo, PNI, PSII. Adapun organisasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam Pemilu ialah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Akan tetapi, dalam Pemilu selanjutnya diikuti oleh dua partai politik (PPP dan PDI) dan satu golongan karya. Hal ini disebabkan adanya penyederhanaan partai politik oleh pemerintah Orde Baru.

Namun pada kenyataannya dalam 6 kali Pemilu Orde Baru, Golkar selalu menjadi pemenang. Hal ini menjadikan dominasi suara di lembaga negara (DPR dan MPR) dikuasai oleh Golkar. Kondisi seperti ini sangat menguntungkan pemerintahan Orde Baru. Selain itu, terpilihnya Soeharto dalam setiap Pemilu semakin melanggengkan Orde Baru. Pelaksanaan Pemilu yang dipandang sebagai perwujudan Demokrasi Pancasila tak lebih dari ucapan saja. Pemilu yang telah dilaksanakan itu hanya untuk melegitimasi kekuasaan pemerintahan Orde Baru.

3) Timor Timur dalam Integrasi dan Disintegrasi
a) Timor Timur dalam Integrasi
Masuknya Timor Timur ke wilayah RI pada tahun 1976 dilatarbelakangi oleh adanya perubahan politik di Portugal (penjajah Timor Timur). Di Portugal telah terjadi kudeta militer pada tanggal 25 April 1974 yang dipimpin oleh Jenderal De Spinola atas Dr. Antonio de Oliveire Salazar. Kudeta militer ini dikenal dengan nama Red Flower’s Revolution (Revolusi Bunga). Kudeta ini tidak hanya membawa perubahan dalam negeri negara Portugal, tetapi juga membuka lembaran baru dalam sejarah politik di daerah koloninya, termasuk wilayah Timor Timur. Semua wilayah yang termasuk koloni Portugal diberi kebebasan untuk berdiri dan berkembang. Rakyat mendapat kesempatan untuk berpolitik.

Dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan mengenai masalah dekolonisasi daerah-daerah jajahannya, Menteri Seberang Lautan Portugal Dr. Antonio de Almeida Santos pada tanggal 16 - 19 Oktober 1974 berkunjung ke Indonesia untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan pihak Indonesia tentang pelaksanaan kebijaksanaan portugal sepanjang menyangkut Timor Timur.

Sebagai tanggapan terhadap politik dekolonisasi di Portugal, maka di Timor Timur muncul tiga partai politik berikut ini.
(1) UDT (Uniao Democratica Timorense atau Uni Demokrasi Timor)
Partai UDT dipimpin oleh Mario Vegas Carascalao. Partai ini menginginkan tetap di bawah bendera Portugal sebagai negara bagian Timor Portugis (Provinsi Seberang Lautan Portugal). UDT menolak kemerdekaan penuh Timor Timur, karena Timor Timur belum dapat berdiri sendiri, mengingat keadaan ekonomi yang masih lemah dan rakyatnya masih bodoh.

(2) Fretilin (Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente)
Partai Fretilin dipimpin oleh Fransisco Xavier Do Amaral. Partai ini menginginkan agar Timor Timur menjadi sebuah negara merdeka penuh tanpa bergabung dengan Portugal atau Indonesia.

(3) Apodeti (Associacao Popular Democratica de Timor)
Partai Apodeti dipimpin oleh Arnoldo dos Reis Araujo. Partai ini menginginkan lepas dari Portugal dan berintegrasi dengan RI. Alasannya bahwa rakyat kedua wilayah itu mempunyai persamaan dan hubungan erat, baik secara historis, etnis, maupun geografis.

Pada tanggal 28 November 1975, Fretilin mengumumkan pembentukan Republik Demokrasi Timor Timur dengan Xavier Do Amaral sebagai presidennya. Untuk menanggapi tindakan Fretilin, gabungan partai UDT, Apodeti, KOTA, dan Trabalista mengimbangi proklamasi Fretilin dengan proklamasi tandingan. Proklamasi itu berisi penggabungan kepada Indonesia dan diumumkan pada tanggal 29 November 1975. Penandatanganan proklamasi ini dilakukan di Balibo pada tanggal 30 November 1975, sehingga proklamasi ini dinamakan Proklamasi Balibo.

Pada tanggal 17 Desember 1975, partai UDT, Apodeti, KOTA, dan Trabalista menyatakan berdirinya Pemerintah Sementara Timor Timur (PSTT) untuk menyelenggarakan tertib pemerintah, administrasi, hukum, dan keamanan.

Pada tanggal 7 Juni 1976 petisi integrasi dikirim ke Jakarta dan diterima oleh Presiden Soeharto dengan harapan agar integrasi diterima tanpa referendum. Sebagai realisasinya, pada tanggal 17 Juni 1976 ditandatangani UU No. 7 Tahun 1976 yang mengesahkan penyatuan Timor Timur ke dalam NKRI dan pembentukan provinsi/daerah tingkat I yang ke-27. Ibukota Timor Timur ditetapkan di Dili dan gubernur Timor Timur yang pertama adalah Arnoldo dos Reis Araujo dan wakilnya Fransisco Xavier Lopez da Cruz.

b) Timor Timur sebagai Provinsi ke-27
Setelah Timor Timur menjadi provinsi ke-27 NKRI, langkah awal yang dilakukan pemerintah Indonesia yaitu menata kembali kehidupan masyarakat Timor Timur agar tidak jauh ketinggalan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Pemerintah Indonesia segera melakukan pembangunan-pembangunan di berbagai bidang baik ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan.

Di tengah-tengah pembangunan yang sedang berlangsung terjadi pertikaian antara kelompok pendukung integrasi dan kelompok antiintegrasi di Timor Timur yang belum diselesaikan secara tuntas. Fretilin mulai bangkit lagi. Perjuangan Fretilin tidak hanya dilakukan di dalam negeri, tetapi juga dilakukan di luar negeri. Perjuangan di dalam negeri dipimpin oleh Xanana Gusmao dan di luar negeri dipimpin oleh Ramos Horta. Mereka tidak puas dengan pilihan rakyat Timor Timur untuk bergabung dengan Indonesia. Mereka menuntut supaya diadakan kembali jajak pendapat untu menentukan masa depan Timor Timur.

Usaha Fretilin ini mendapat dukungan dari berbagai pihak di luar negeri, terutama Portugal Di forum PBB, integrasi Timor Timur dengan Indonesia belum diakui sehingga Timor Timur dianggap sebagai daerah yang belum memiliki pemerintahan sendiri.

c) Timor Timur Menuju Jajak Pendapat
Sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998 terjadi pergantian presiden dari Soeharto kepada B.J. Habibie. Hal itu membuka cakrawala baru bagi penyelesaian masalah Timor Timur. Akhirnya, pada masa pemerintahan B.J. Habibie, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk melakuka jajak pendapat di Timor Timur. Referendum/jajak pendapat akhirnya dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan misi PBB untuk Timor Timur, yaitu UNAMET (United Mission for East Timor). Hasil jajak pendapat ini menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur (78,5%) memilih melepaskan diri dari Indonesia dan berdiri sebagai negara merdeka.

Hasil jajak pendapat ini diumumkan oleh Sekjen PBB, Kofi Annan, pada tanggal 4 September 1999 dan selanjutnya pad tanggal 19 Oktober 1999 MPR RI mengeluarka ketetapan yang mengesahkan hasil jajak pendapat mengenai Timor Timur.

Sejak saat itulah, Timor Timur secara resmi lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah melalui masa transisi maka pada tanggal 20 Mei 2002 Timo Timur mendapatkan kemerdekaan penuhdengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.


b. Kehidupan Politik Luar Negeri Orde Baru
Pada masa Orde Baru politik luar negeri RI secara keseluruhan mengabdikan diri kepada kepentingan nasional. Dalam rangka turut serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil, dan sejahtera, bangsa Indonesia melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif. Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan kembali politik bebas aktif Indonesia.

1) Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB
Seperti telah kita ketahui dalam sejarah negara, Indonesia pernah menjadi anggota PBB ke-60 pada tanggal 28 September 1950. Selama menjadi anggota PBB, Indonesia pernah merasakan keuntungan dari badan internasional tersebut seperti penyelesaian masalah Irian Barat dan kerja sama yang dibangun bangs Indonesia dengan badan-badan PBB dalam pembangunan di Indonesia. Selain itu,bangsa Indonesia bisa secara leluasa bekerja sama dengan negara-negara lain di dunia. Namun dalam perkembangannya, Indonesia juga pernah merasakan rasa tidak puas terhadap organisasi internasional tersebut. Pada puncaknya, Indonesia menyatakan keluar dari keanggotaan PBB pada tanggal 1 Januari 1965. Hal ini disebabkan Indonesia mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Keluarnya Indonesia dari PBB, menjadikan ruang gerak bangsa Indonesia di dunia internasional menjadi sempit dan Indonesia dikucilkan oleh dunia internasional.

Ketika pemerintah Orde Baru berkuasa, hubungan dengan organisasi internasional mulai diperbaiki. Atas dasar pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia kembal menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966. Keaktifan bangsa Indonesia di PBB ditunjukkan ketika Menteri Luar Negeri Adam Malik terpilih menjadi ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang 1974.

2) Normalisasi Hubungan Indonesia – Malaysia
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia pernah mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini berawal dari penandatanganan Konferensi London yang menyatakan akan dibentuk Federasi Malaysia oleh pemerintah Inggris. Indonesia merasa keberatan dengan pembentukan Federasi Malaysia karena Indonesia menganggap hal itu adalah proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Karena politik konfrontasi ini tidak sesuai dengan dasar politik bebas aktif, maka oleh pemerintah Orde Baru politik konfrontasi diganti dengan politik bertetangga dan bersahabat baik serta hidup berdampingan secara damai yang saling menguntungkan. Normalisasi hubungan Indonesia - Malaysia dimulai dengan dilaksanakannya perundingan di Bangkok pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1966. Pihak Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik dan pihak Malaysia diwakili oleh Tun Abdul Razak. Pertemuan ini menghasilkan keputusan yang disebut Persetujuan Bangkok (Bangkok Agreement). 

Berikut ini isi Persetujuan Bangkok.
  • Rakyat Sabah dan Serawak memperoleh kesempatan menegaskan kembali keputusan mereka mengenai kedudukan kedua wilayah itu dalam Federasi Malaysia.
  • Pemerintah Indonesia dan Malaysia menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
  • Indonesia dan Malaysia menghentikan tindak permusuhan.
Penandatanganan persetujuan pemulihan hubungan antara Indonesia Malaysia dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 1966. Selain itu melalui Duta Besar Pakistan untuk Myanmar, Indonesia menyampaikan nota pengakuannya terhadap Republik Singapura. 

0 Response to "Kehidupan Sosial dan Politik pada Masa Orde Baru"

Post a Comment