Pergolakan Sosial Politik di Indonesia


1. Persoalan Hubungan Pusat dan Daerah
Sejak menganut sistem pemerintahan parlementer, di Indonesia sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan politik di Indonesia, karena program kabinet yang telah ditetapkan oleh kabinet yang berkuasa tidak dapat dilaksanakan dengan baik, ditambah lagi dengan adanya persoalan-persoalan di daerah yang belum dapat diselesaikan. Persoalan-persoalan daerah yang muncul diantaranya adalah Pemberontakan PRRI dan Permesta yang terjadi masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II.


Pemberontakan PRRI dan Permesta dilatarbelakangi oleh pertentangan antara pemerintah pusat dan daerah mengenai otonomi, serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sikap ketidakpuasan mereka didukung oleh sejumlah panglima angkatan bersenjata.

a. Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
Gerakan rakyat Sumatra yang tergabung dalam Pemberontakan PRRI ini berawal dengan adanya pembentukan dewan-dewan daerah yang melibatkan beberapa panglima angkatan bersenjata. Berikut ini dewan-dewan daerah yang terbentuk.
  • Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dibentuk oleh Letnan Kolonel Achmad Husein pada tanggal 20 Desember 1956.
  • Dewan Gajah di Medan yang dibentuk oleh Kolonel Maludin Simbolon pada tanggal 22 Desember 1956.
  • Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian pada pertengahan Januari 1957.
Pada tanggal 10 Februari 1958, Achmad Husein mengadakan rapat raksasa di Padang dan mengeluarkan ultimatum pada pemerintah pusat. Berikut ini adalah bunyi ultimatum tersebut.
  • Dalam waktu 5 x 24 jam Kabinet Djuanda harus mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya kepada presiden.
  • Mendesak Presiden Soekarno agar menugaskan Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk membentuk zaken kabinet.
  • Meminta kepada Presiden Soekarno supaya kembali kepada kedudukannya sebagai presiden konstitusional.
Namun, ultimatum tersebut tidak dihiraukan oleh pemerintah pusat. Akhirnya, pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan “Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Dengan proklamasi ini, PRRI memisahkan diri dari pemerintah pusat. Untuk mengatasi pemberontakan PRRI, pemerintah pusat dengan tegas mengambil tindakan dengan operasi militer yang melibatkan angkatan darat, angkatan laut, dan dibantu oleh rakyat setempat. Operasi gabungan ini meliputi beberapa operasi penting berikut ini.
  • Operasi 17 Agustus, yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani dengan tugas menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra Barat.
  • Operasi Sapta Marga, yang dipimpin oleh Brigjen Jatikusuma dengan tugas menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra Utara.
  • Operasi Sadar, yang dipimpin oleh Letkol Ibnu Sutowo dengan tugas menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra Selatan.
  • Operasi Tegas, yang dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution dengan tugas menumpas pemberontakan PRRI di daerah Riau.
Secara berangsur-angsur, satu per satu tokoh-tokoh pemberontak dapat ditangkap dan wilayah pemberontakan dikuasai. Pada tanggal 29 Mei 1958, Achmad Husein dan pasukannya menyerah. Dengan demikian, berakhirlah pemberontakan PRRI yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

b. Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Proklamasi PRRI yang diumumkan pada 15 Februari 1958 di Padang, ternyata mendapat sambutan hangat dari rakyat Indonesia bagian Timur. Para tokoh militer di Sulawesi mendukung PRRI di Sumatra dan pada tanggal 17 Februari 1959 Letkol. D.J. Somba (Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah) mengeluarkan pernyataan untuk memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI; kemudian sekelompok militer tersebut kemudian membentuk gerakan yang dinamakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957 di Makasar. Gerakan Permesta ini dipimpin oleh Letkol. Ventje Sumual. Untuk menghancurkan gerakan yang nyata-nyata bersifat separatis ini, pemerintah pusat mengirimkan pasukan TNI dan menggelar operasi militer yang dinamakan Operasi Merdeka. Operasi ini dipimpin oleh Letkol. Rukminto Hendraningrat.

Dalam pelaksanaan operasi ini, diketahui ternyata Permesta mendapat bantuan dari negara asing. Hal ini terbukti dengan ditembak jatuhnya pesawat yang dikemudikan A.L. Pope (warga negara AS) pada tanggal 18 Mei 1958 di Ambon. Akhirnya, pada bulan Agustus 1958, pemberontakan Permesta dapat dilumpuhkan.

2. Persaingan Ideologis di Kalangan Partai
Pasca pengakuan kedaulatan, Indonesia menganut sistem cabinet parlementer yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet silih bergantinya kabinet dalam waktu yang relatif singkat menyebabkan kabinet yang berkuasa tidak dapat melaksanakan programnya, karena parlemen sering menjatuhkan kabinet bila kelompok oposisi kuat. Para menteri yang tergabung dalam suatu kabinet pada umumnya di bawah kendali partai politik, sehingga kabinet yang berkuasa didominasi partai politik tertentu. Selama periode 1990 – 1999 terhadap tujuh kabinet yang memerintah.
  • Kabinet Natsir berintikan Partai Masyumi dan didukung Partai Sosialis Indonesia (PSI).
  • Kabinet Sukiman, merupakan kabinet koalisi antara partai Masyumi dan PNI.
  • Kabinet Wilopo, merupakan kabinet koalisi PNI dan Masyumi yang tidak bersemangat untuk bekerja sama.
  • Kabinet Ali Sastroamijoyo I, merupakan kabinet PNI yang mendapat dukungan dari NU dan partai-partai kecil.
  • Kabinet Burhanuddin Harahap, merupakan kabinet Masyumi yang didukung oleh PSI dan NU.
  • Kabinet Ali Sastroamijoyo II, merupakan kabinet koalisi PNI, Masyumi, dan NU.
  • Kabinet Djuanda, merupakan kabinet nonpartai, tetapi dalam praktiknya merupakan kabinet koalisi PNI dan NU.
Kabinet-kabinet tersebut bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun anggota-anggota DPR tentu saja mendengar suara partainya. Di dalam susunan DPR, ada beberapa fraksi yang anggotanya berasal dari Masyumi dan PNI yang di antara keduanya hampir selalu terdapat ketidakserasian. Apalagi dalam kedua partai itu terdapat kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Kondisi parlemen seperti ini memengaruhi cabinet yang berkuasa. Hal ini dapat kita ketahui dari mosi tidak percaya Hadikusumo dari PNI yang akhirnya menjatuhkan Kabinet Natsir.

Selain itu, partai-partai politik yang berperan dalam pemerintahan tersebut dibentuk oleh para politisi sipil dan menekankan pada kepentingan-kepentingannya. Berikut ini partai-partai politik yang dimaksud.
  • Partai Sosialis Indonesia (PSI), didukung oleh kaum intelektual Jakarta dan kalangan tentara pusat. PSI berpengaruh di kalangan pejabat tinggi pemerintahan.
  • Partai Murba, didukung oleh kaum komunis nasional yang mengagumi Tan Malaka.
  • Partai Kristen dan Partai Katolik, didukung oleh umat Kristen dan Katolik.
  • Partai Masyumi, mewakili kepentingan politik Islam dan merupakan partai terbesar di Indonesia. Di dalam tubuh Masyumi terjadi perpecahan antara kaum muslim tradisional dan modern. Di bawah pimpinan Wachid Hasyim, NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952 dan berubah menjadi partai sendiri.
  • Partai Nasional Indonesia (PNI), dianggap partai terbesar kedua dengan basis utama di kalangan birokrat dan pegawai kantor. PNI mendapat simpati dari masyarakat muslim abangan di pedesaan Jawa, karena PNI dianggap sebagai Partai Soekarno. Selain itu, PNI juga mendapat dukungan dari daerah-daerah Kristen di luar Jawa dan Bali yang menganut agama Hindu.
  • Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada awalnya, basis PKI adalah kaum buruh politik perkotaan dan perusahaan pertanian yang diorganisasikan melalui federasi serikat SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Namun, partai ini kemudian melebarkan sayapnya ke sektor-sektor kemasyarakatan yang lain, seperti kaum tani.
Persaingan antarpartai di masyarakat dapat kita ketahui menjelang pemilihan umum pertama tahun 1955. Dalam usaha mendapatkan dukungan massa yang lebih banyak, maka mereka menggunakan daya tarik ideologis yang dapat meningkatkan ketegangan-ketegangan masyarakat di desa-desa. Para aktivis partai Islam di tingkat daerah menghendaki sebuah negara yang berdasarkan pada hukum Islam. Sementara itu, PNI dan PKI berusaha mengaitkan Masyumi dengan Darul Islam. Setelah selama hampir dua tahun terjadi kekacauan politik, maka pada tahun 1955 diadakan pemilihan umum pertama. Akhirnya, hasil pemilu tahun 1955 didominasi oleh Masyumi, PNI, NU, dan PKI. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (yang merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU) berkuasa, setelah Kabinet Burhanuddin Harahap jatuh. Sementara itu, PKI sebagai partai oposisi.

Ketika Soekarno mengumumkan akan membentuk DPR-GR, PSI, Masyumi, beberapa tokoh NU, Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslim, dan IPKI membentuk Liga Demokrasi untuk menentangnya. Namun, liga ini tidak bertahan lama. DPR-GR pun terbentuk dan anggotanya tidak ada yang berasal dari Masyumi dan PSI. Komposisi anggota DPR-GR itu terdiri atas golongan nasionalis, Islam, dan komunis. Persatuan antara nasionalis, Islam, dan komunis sudah lama dikehendaki Soekarno. Hal ini kemudian dituangkan dalam doktrin Nasakom. Doktrin ini menunjukkan bahwa ketiga paham tersebut akan sama-sama berperan dalam pemerintahan. Namun dalam perkembangannya, ketika para menteri yang berasal dari PKI akan dimasukkan ke dalam kabinet, pihak militer tidak menyetujuinya. Berdasarkan hal ini, maka dapat dikatakan bahwa pada masa itu terjadi persaingan antara pihak militer, PKI, dan Soekarno. 


0 Response to "Pergolakan Sosial Politik di Indonesia"

Post a Comment