Praktek ekonomi Islam


Praktek ekonomi Islam adalah kegiatan ekonomi yang berbeda dengan masyarakat yang bersandarkan pada ajaran sekuler (ajaran yang memisahkan antara kepentingan hidup di dunia dan di akhirat). Ajaran sekuler lebih mengutamakan keuntungan duniawi, sedangkan praktek ekonomi dalam Islam tetap memegang teguh ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As Sunnah. Syari’at Islam telah menggariskan sistem jual beli, yang adil yang menjamin terbinanya kehidupan ekonomi masyarakat yang sehat lahir dan batin. Jual beli sendiri, dalam bahasa Arab di sebut mubadalah, artinya menukarkan sesuatu barang dengan yang lainnya. Dalam Al-Qur’an, kata “jual-beli” terjemahan dari lafaz “bai” seperti tercantum dalam surah Al-Baqarah ayat 275. “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al-Baqarah : 275)

Kata jual beli merupakan terjemahan dari lafaz “tij±rah”, seperti pada surah An-Nisa ayat 29, yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An-Nisa : 29)



Pasar Terapung

Bukti sejarah telah menunjukkan bahwa Rasulullah Muhammad saw, istrinya dan juga paman serta kakeknya adalah orang-orang yang menjalankan kegiatan ekonomi. Dalam sejarah Islam, keempat tokoh tersebut dikenal sebagai seorang pedagang yang sukses, bahkan Siti Khadijah (istri Rasulullah Muhammad saw) adalah seorang konglomerat di zamannya. Berdasarkan temuan sejarah seperti ini, tepat bila dikatakan bahwa Islam adalah agama yang memperhatikan masalah ekonomi dan juga perdagangan antar daerah atau antar negara, sebagaimana yang dilakukan masyarakat Arab waktu dulu yang berdagang sampai ke negeri Eropa.

Hukum Jual Beli dalam Islam
Di jelaskan dalam usul fiqh, jual beli adalah proses penukaran satu barang dengan barang lain, atau dengan alat penukar yang diakui melalui satu akad jual beli, atas dasar suka sama suka. Dengan adanya akad ini, maka pemindahan barang tersebut bukan berdasarkan hibah (pemberian) semata, sedangkan yang dimaksud dengan dasar “suka sama suka” artinya para pelaku transaksi memiliki kesadaran dan merdeka untuk menentukan sikap, bukan atas dasar paksaan atau dibawah tekanan pihak lain.

Bila menelaah ayat 275 dalam surah Al-Baqarah, dapat ditemukan kejelasan tentang hukum jual beli. Islam menghalalkan praktek jual beli. Dengan kata lain, seorang muslim dapat dibenarkan melakukan transaksi ekonomi, baik dalam kontek lokal maupun global. Berdagang atau melakukan perdagangan adalah sesuatu hal dihalalkan dalam ajaran Islam.

Perhatian terhadap masalah transaksi ekonomi ini terkait dengan salah satu kewajiban manusia di muka bumi. Dalam kaitan dengan ini, Islam memberikan penjelasan bahwa setiap manusia perlu memanfaatkan waktu hidupnya baik untuk kepentingan dunia maupun kepentingan akherat. Waktu sejumlah 24 jam setiap harinya, Islam memberikan keterangan bahwa ada sebagian waktu hidup manusia yang digunakan untuk mencari nafkah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam Qs. Al-Isra: 12, yang berbunyi : “Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas”. (Qs. Al-Isra: 12)

Al-Qur’an memberikan keterangan bahwa waktu hidup manusia di dunia ini, ada waktu untuk beribadah dan ada waktu untuk mencari nafkah. Ibadah dan mencari nafkah adalah dua pekerjaan rutin manusia di dunia ini, yang tidak boleh satu dengan yang lainnya saling menghapuskan. Mencari nafkah dan ibadah ibarat dua sayap kehidupan di dunia, yang tidak boleh diabaikan. Makna seperti ini dapat digali dalam ayat lain, misalnya tertuang dalam surah Al-Qa¡a¡ ayat 77, yang berbunyi : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Qs. Al-Qa¡a¡: 77)

Pemanfaatan sebagian waktu untuk berusaha atau berniaga ini ditunjukkan dengan bukti sejarah bahwa pada 14 abad yang lalu di lingkungan masyarakat Quraisy praktek perniagaan ini sudah terjadi. Dalam Qs. Al-Quraisy : 2) Allah Swt berfirman bahwa “…. kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas”.

Orang Quraisy biasa Mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. Dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. Ini adalah suatu nikmat yang amat besar dari Tuhan mereka. Oleh karena itu sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka.

Perniagaan ini, bukan hanya dilakukan di daratan namun juga di perairan (lautan). Firman Allah dalam Qs. Al-F±¯ir ayat 12 “dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur”.

Syarat dan Rukun Jual Beli
Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa transaksi atau jual beli adalah akad antara jual beli atas sesuatu barang yang secara syah di perjualbelikan. Oleh karena itu ada empat rukun jual beli, yaitu (1) ada penjual, (2) ada pembeli, (3) ada barang yang diperjualbelikan, dan (4) sigat akad.

Syarat-syarat penjual, yaitu :
  1. Berakal sehat, artinya memiliki kesadaran, pengetahuan dan keterampilan jual beli. Orang yang sedang mabuk, gila, setengah tertidur (ngantuk) dan mengigau tidak diperbolehkan jual beli. 
  2. Sudah balig/dewasa. Orang yang belum berfikiran dewasa atau tidak tahu mengenai proses transaksi atau hak dan kewajiban jual beli tidak diperbolehkan jual beli. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksudkan di sini, yaitu untuk jual beli dalam skala besar (seperti membeli rumah), bukan dalam bentuk jajanan yang kecil.
  3. Atas kehendak sendiri, artinya jual beli itu merupakan perilaku yang didorong oleh kehendak sendiri, bukan karena dipaksa oleh pihak lain.
  4. Tidak dalam posisi di bawah perwalian orang lain, misalnya anak yatim atau orang yang lemah akal. Seorang anak yatim, bila mau melakukan transaksi harus minta izin kepada walinya, dan orang lemah akal harus minta bantuan kepada walinya. Oleh karena itu, kedua orang tersebut tidak dibolehkan untuk melakukan transaksi ekonomi. Hal ini sejalan dengan Firman Allah Swt. “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (Qs. An-Nisa : 5)

Untuk pembeli tidak syarat khusus. Karena pembeli itu merupakan pelaku dalam transaksi maka persyaratannya pun sama sepeperti hal yang dibebankan kepada penjual. Dengan kata lain, seorang pembeli pun harus memiliki sifat memiliki akal sehat, balig dan dewasa, atas kehendak sendiri dan tidak dalam perwalian.

Hal yang perlu penekanan di sini, sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasulullah Muhammad saw 14 abad yang lalu, proses transaksi ini tidak dibatasi hanya pada satu agama saja. Perbedaan agama, suku bangsa atau kebudayaan tidak menjadi satu halangan untuk melakukan transaksi ekonomi. Hemat kata seorang muslim dapat melakukan transaksi ekonomi dengan orang-orang non-muslim.

Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan.
  1. Milik si penjual, artinya tidak syah menjual barang bukan milik sendiri atau barang yang tidak dimiliki. Rasulullah Muhammad saw bersabda, “tidak terjadi jual beli atas barang yang tidak dimiliki”. (Hr. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
  2. Ada manfaatnya. Tidak syah menjual barang yang tidak ada manfaatnya. Syarat ini merujuk pada pernyataan Rasulullah Muhammad saw, “Dari Jabir, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli anjing, kecuali jual anjing pemburu”. (Hr. An-Nasai).
  3. Dapat diserahterimakan langsung. Dalam ajaran Islam tidak diperkenankan menjual barang atau sesuatu hal yang tidak bisa diserahkan langsung. Rasulullah Muhammad saw bersabda, “Janganlah kamu membeli ikan di dalam air (laut atau kolam), karena sesungguhnya yang demikian itu tipuan”. (Hr. Ahmad dan Ibnu Mas’ud). Imam Syafi’i berpendapat, “tidak dapat diserahkan terimakan ini adalah barang yang tidak ada tempat (ghaib) walaupun disebutkan sifat-sifatnya. Imam Malik dan para ulama Madinah, kebanyakan berpendapat bahwa menjual barang yang tidak ada di tempat dengan menyebut sifat-sifatnya, dibolehkan dengan catatan jika barang itu telah hadir di tempat akad. Kemudian bila benda itu sesuai dengan sifat-sifatnya maka jual beli itu menjadi syah, sedangkan bila berbeda, maka transaksi itu dibatalkan.
  4. Diketahui jenis, zat dan sifat-sifatnya. Syarat ini menunjukkan bahwa Islam menekankan tentang pentingnya kepastian ada tidaknya barang, dan bila seorang pembeli tidak mendapatkan pengetahuan atau kepastian mengenai jenis, zat atau sifat barang maka transaksi itu menjadi tidak syah. Syarat ini senada dengan penjelasan ibnu Umar, katanya, “Nabi Muhammad saw melarang menjual buah-buahan sehingga nyata baiknya” (Mutafaq alaih).
  5. Suci atau benda yang bisa disucikan. Barang yang dijualbelikan adalah barang yang suci secara agama, oleh karena itu tidak diperkenankan melakukan perdagangan yang diharamkan Islam seperti khamr atau narkoba.
Ada beberapa syarat sahnya akad jual beli, yaitu :
  1. Ijab kabul jual beli harus terjadi pada satu masa. Tidak sah jika akad jual beli dihalangi oleh saat tertentu yang dapat membatalkan kesinambungan lafaz, misalnya kata penjual, “Aku jual barang ini kepadamu dengan harga sekian”. Kemudian si pembeli tidak menjawab, dan baru menjawab pada esok harinya. Ijab qabul itu harus tunai berkesinambungan. Andaipun di jawab pada esok harinya, maka transaksinya pada hari ini belum terjadi, dan masih bersifat penawaran. Nilai sebuah penawaran, bila tidak ada perjanjian khusus, maka si penjual dapat mengalihkan tawarannya pada pihak lain.
  2. Ada persesuaian isi ijab qabul antara si penjual dan pembeli, baik yang terkait dengan nama barang dan harga barang. Misalnya, “saya jual barang dengan harga Rp. 10.000”, lalu pembeli menjawab, “saya terima dengan harga Rp.10.00”. Bila isi ijab qabul tersebut tidak sesuai, misalnya Rp. 10.000 dan Rp. 9.000 maka ijab qabul menjadi batal
Untuk mewujudkan kegiatan ekonomi yang selaras dengan perintah Allah Swt, seorang muslim perlu mengetahui beberapa asas transaksi ekonomi menurut ajaran Islam. Asas-asas transaksi ekonomi Islam dapat ditemukan dalam firman Allah Swt berikut ini. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Qs. Al-Baqarah: 282)

Dari ayat tersebut dapat dirinci tentang beberapa prinsip transaksi ekonomi Islam.
  1. Islam memberikan perhatian yang tinggi terhadap perlindungan antar orang yang terlibat dalam transaksi ekonomi. Oleh karena itu, Islam menekankan tentang pentingnya akuntansi atau pembukuan. Transaksi ekonomi yang dilakukan perlu untuk dibukukan. Dari asas ini, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan transaksi ekonomi menurut Islam (1) harus ada petugas yang mencatat transaksi ekonomi tersebut (akuntan), (2) sikap kerja akuntan tidak boleh malas atau menyepelekan peristiwa transaksi ekonomi, dan (3) pembukuan yang dilakukan itu harus dilakukan dengan benar, tidak boleh dikurangi atau ditambah-tambahkan.
  2. Transaksi yang tidak bersifat tunai, atau piutang harus memiliki kejelasan waktu. Kepastian mengenai waktu ini akan bermanfaat untuk mengingat pengutang terhadap kewajibannya untuk membayar.
  3. Catatan utang atau proses transaksi ekonomi harus sepengetahuan si pembeli. Dalam bahasa Al-Qur’an, “hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu”.
  4. Dalam ayat yang lain, transaksi ekonomi dalam Islam itu berlandaskan pada asas kejujuran dan dilarang untuk mengurangi takaran. Terjemah “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orangorang yang merugikan” (Qs. Asy-Syu’ar±: 181) . Pernyataan ini dipertergas lagi dalam QS. Al-An’am : 152, yang berbunyi: Terjemah “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (Qs. Al-An’am : 152)
  5. Transaksi harus dilandaskan suka sama suka. Terjemah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan,harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Qs. An-Nisa : 29)
  6. Dilarang riba. Terjemah ... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al-Baqarah : 275) Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
  7. Bila si pengutang tidak mampu atau belum mampu membayar, seorang pedagang muslim diharapkan untuk memberikan jatuh tempo yang baru sehingga dia mampu membayarnya. Terjemah dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Qs. Al-Baqarah:280)
  8. Dalam konteks tertentu, transaksi ekonomi dalam Islam pun dapat menggunakan sistem jaminan (borg). Hal ini dinyatakan dalam ayat AlQur’an berikut : Terjemah “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Baqarah : 283)
Jual Beli yang Syah Menurut Islam
Untuk mengenali pola jual beli yang syah menurut Islam, ada baiknya mengenali beberapa jenis transaksi yang di larang dalam Islam. Dengan demikian, akan dapat dengan mudah mengenali jenis jual beli yang dilarang dalam Islam. Ada dua alasan yang menyebabkan sebuah transaksi dapat dikatakan terlarang dalam Islam. Pertama, yaitu tidak terpenuhinya syarat-syarat sahnya jual beli. Bentuk-bentuk seperti ini yaitu :

  1. Jual beli riba. Riba dalam Islam ada dua jenis, yaitu riba nasiah (riba dengan penundaan pembayaran), dan riba tafadul (riba dengan melipatgandakan jumlah pembayaran).
  2. Jual beli garar dan yang belum jelas kadarnya. Bentuk jual beli seperti ini, yaitu menjual ikan dalam empang atau buah-buahan yang masih muda dan belum matang.
  3. Jual beli bersyarat. Imam Abu Hanifah berkata bahwa “Rasulullah Muhammad saw melarang jual beli yang diikat oleh syarat”.
  4. Menjual sesuatu untuk kemaksiatan atau terlarang walaupun barang yang diperjualbelikan itu asalnya bukan najis. Misalnya menjual patung untuk di sembah, menjual senjata untuk perampokan, atau menjual alat perjudian.

Bentuk jual beli yang kedua yaitu jual beli yang terlarang karena merugikan pihak pembeli.

  1. Membeli barang dari orang yang masih dalam situasi khiyar (pilihan). Apabila dua orang sedang mengadakan tawar menawar atas suatu barang, terlarang bagi orang lain untuk menawar barang tersebut sebelum orang pertama membatalkan rencana beli.
  2. Jual beli yang mengecoh. Ada dua rupa yang sering dilakukan dalam tindakan mengecoh, yaitu mengecoh barang jualan dengan contoh, dan mengurangi timbangan. Pedagang di larang melakukan tindak pengecohan barang kepada pembeli, seperti menawarkan barang yang bagus, kemudian pada saat transaksi terjadi barang yang buruk yang diberikan kepada pembeli. Sikap seperti ini merupakan tindakan mengecoh pembeli dengan contoh yang baik atau mulus. Tindakan mengecoh pun dapat berupa pengurangan timbangan. Allah Swt., berfirman : Terjemah “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orangorang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (Qs. Mu¯afifin : 1 -3).
  3. Jual beli dengan menghambat penjual sebelum sampai di pasar. Dari ibnu Abbas, bersabda Rasulullah saw, “Janganlah kamu menghambat orangorang yang pergi ke pasar (sebelum mereka sampai di pasar)”. (HR. Muttafaq alaih). Hal ini menunjukkan bahwa Islam melarang ada kelompok yang membeli barang dari penjual di tengah perjalanan dengan maksud untuk mendapatkan harga murah, untuk kemudian dijualnya sendiri ke pasar. Karena sikap seperti ini dapat merugikan pihak pembeli, sebelum mereka tahu harga pasar yang sesungguhnya.
  4. Jual beli dari hasil pembelian barang yang ditimbun. Seperti halnya yang terjadi pada tindakan menghambat penjual sebelum ke pasar, sikap penimbunan barang pun merupakan bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam.
Macam-macam Jual Beli
Ada beberapa jenis jual beli (transaksi) yang disahkan dalam ajaran Islam.
  1. Salam atau salaf, yaitu menjual sesuatu hanya diberitahukan sifat serta kualitasnya oleh penjual, dan setelah ada kesepakatan, pembeli langsung membayarnya meskipun barangnya belum kelihatan. Hal ini merujuk pada firman Allah Swt : Terjemah “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Qs. Al-Baqarah : 282)
  2. Syuf’ahialah menjual sesuatu dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya dari pada yang jauh. Misalnya, ada sebuah rumah milik bersama antara A dan B, kemudian si B tanpa sepengetahuan si A menjualnya kepada si C. Dalam masalah ini, si A dapat mengambil paksa bagian rumahnya di si C yang dijual si A secara paksa. Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “tetangga itu lebih berhak akan syuf’ah tetangganya yang selalu menunggunya sekalipun ia tidak ada, jika jalan mereka itu satu”. (HR. Ahmad dan Imam yang Empat.)
  3. Syirkah yaitu suatu akad dalam bentuk kerjasama baik dalam bidang modal atau jasa antara sesama pemilik modal dan jasa. Artinya, dua orang atau lebih berserikat untuk melakukan perniagaan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Dasar hukumnya yaitu : Terjemah Dia (Dawud) berkata, “Sungguh, dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (di-tambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim ke-pada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.” ... (Qs. ¢ad : 24) Bentuk syirkah diantaranya yaitu Perseroan Terbatas (PT), Firma dan Koperasi. Syirkah ini dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama modal atau kerjasama tenaga.
  4. Qirad yaitu berhutang atau memberi modal untuk berniaga. Ada yang menyebut qirad dengan istilah mu«arabah. Meminjam modal untuk berniaga dan mengharap keuntungan adalah sesuatu hal yang di sahkan dalam Islam. Dasar hukumnya yaitu : Terjemah “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Qs. Al-Baqarah : 198).
  5. Transaksi dalam bentuk sewa tenaga kerja. Terjemah “Dia (Musa) berkata: “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan”. (Qs. Al-Qa¡a¡: 28)

0 Response to "Praktek ekonomi Islam"

Post a Comment