Karakteristik Umum Geografis dan Kebudayaan Banjar


Kilasan tentang Banjar
Di Kalimantan Selatan, penduduk asli yang biasanya disebut sebagai Urang Banjar adalah mereka yang berdomisili di sekitar kota Banjarmasin. Daerah ini selanjutnya meluas sampai kota Martapura, ibukota Kabupaten Banjar, dan wilayah sekitarnya. Itu yang kemudian juga disampaikan oleh Usman dalam bukunya berjudul Urang Banjar dalam Sejarah (1989). Selanjutnya, orang-orang dari daerah Hulu Sungai yang konon bepergian ke daerah tersebut menyebut kepergian mereka “labuh ke Banjar”. Sebutan Urang Banjar meliputi wilayah yang lebih luas, tidak hanya penduduk (asli) Kabupaten Banjar dan Kotamadya Banjarmasin, melainkan meliputi seluruh daerah eks Afdeeling Bandjermasin sebelum perang, dengan mengecualikan kelompok penduduk yang disebut sebagai Orang Bakumpai. Bahasa yang dikembangkan oleh penduduk daerah ini dinamakan bahasa Banjar. 



Dengan demikian, urang Banjar bukan saja penduduk eks Afdeeling Bandjermasin, namun juga penduduk asal eks Afdeeling Hoeloe Soengei, khususnya jika berada di luar kedua eks afdeeling itu. Dalam wilayah eks afdeeling yang disebut terakhir ini,ada dua wilayah yang perlu dibedakan berdasarkansebutan kebiasaan penduduk, yaitu daerah Pahuluan dan daerah Batang Banyu. Batang banyu berarti sungai dan sering berarti nama lain bagi sungai Negara. Sebagai suatu daerah,ia meliputi wilayah lembah sepanjang sungai Negara mulai dari sekitar kota Margasari di sebelah hilir dan mungkin sampai ke kota Kelua di tepi sungai Tabalung. Pahuluan berarti tempat di hulu atau daerah hulu sungai dan sebagai daerah ia meliputi wilayah aliran sungai-sungai anak cabang sungai Negara dan semuanya berhulu di Pegunungan Meratus. Penduduk Batang Banyu dinamakan orang Batang Banyu dan penduduk Pahuluan dinamakan orang Pahuluan, yang memang dibedakan dengan urang Banjar (Alfani Daud, 1997).

Selanjutnya, bahasa yang dikembangkan oleh Urang Banjar dinamakan bahasa Banjar dan bahasa yang dikembangkan oleh orang Pahuluan dinamakan bahasa Banjar Pahuluan. Dari sisi dialek, pengguna dua bahasa tersebut kemudian tidak mengalami kesulitan karena keduanya masih tergolong bahasa Melayu. Selain itu, bahasa Banjar dan bahasa Banjar Pahuluan terbagi atas berbagai subdialek.

Atas beberapa hal tersebut, maka suku bangsa Banjar sesungguhnya bukanlah penduduk asli, namun merupakan hasil dari metamorfosis sejumlah kelompok masyarakat yang kemudian melahirkan sebuah warga baru bernama Urang Banjar (Durasid dan Jantera, 1978). Hal ini tentu berbeda dengan suku bangsa Dayak umpamanya. Dengan kata lain, temuan ini juga didasarkan pada bahasa Urang Banjar yang mereka kembangkan, yaitu bahasa Banjar, yang dapat dianggap sebagai salah satu dialek belaka dari bahasa Melayu dan umumnya dikembangkan oleh suku bangsa-suku bangsa yang mendiami Sumatera dan Tanah Semenanjung Melayu (sekarang Malaysia Barat) sampai saat ini. Ini dapat diperkirakan menjadi cikal bakal nenek moyang suku bangsa Banjar dengan berintikan sukubangsa Melayu yang berimigrasi ke daerah Kalimantan Selatan dari Sumatera atau sekitarnya pada sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Mereka memasuki daerah Kalimantan Selatan dari arah selatan, laut Jawa ketika kondisi daerah saat itu masih berada dalam kondisi rawa-rawa yang luas, yang selanjutnya membentuk Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah. Saat itu tentu masih merupakan sebuah teluk raksasa dengan pantai sebelah timurnya yang berada di kaki Pegunungan Meratus. Cikal bakal nenek moyang Urang Banjar memudiki sungai-sungai yang bermuara di teluk raksasa dan membangun pemukiman di tepi-tepi sungai tersebut.Semuanya berhulu di kaki Pegunungan Meratus (Alfani Daud, 1997).

Awal mereka tiba di kawasan ini, mereka tentu berjumpa dengan kelompok-kelompok penduduk yang lebih asli, yang saat ini disebut secara umum sebagai orang Dayak dan saat itu disebut suku Dayak Pegunungan Meratus (suku Dayak Bukit), suku Dayak Manyan, suku Dayak Ngaju (di kalangan masyarakat Banjar dinamakan Biaju), dan suku Dayak Lawangan. Ada sekitar 8 suku Dayak lainnya dan beberapa di ataranya adalah Dayak Iban, Kayan, dan Kenyah (Supriatna, 2008: 40). Selanjutnya, suku Dayak Bukit mungkin yang mempunyai kedekatan sejarah dengan Urang Banjar memiliki asal usul yang sama dengan cikal bakal nenek moyang Urang Banjar, yaitu dari Sumatera atau sekitarnya dan kedatangan mereka ke kawasan ini mungkin lebih awal, namun mereka tetap merupakan kelompok yang terpisah dengan masyarakat Banjar (baca: Pahuluan). Kemungkinan lain menyebutkan bahwa saat itu mereka mendiami dataran-dataran yang lebih rendah dan setelah terdesak oleh masyarakat Banjar, mereka berada jauh di wilayah Pegunungan Meratus. Suku Dayak Manyan mungkin awalnya merupakan penduduk asli daerah lembah Tabalung dan lembah Balangan dan kemungkinan lain adalahsaat itu pernah tersebar dalam wilayah yang luas jauh di bagian hilir lembah Negara karena berbagai alasan, namun akhirnya terdesak oleh masyarakat Banjar (baca: Batang Banyu). Ini juga terjadi kepada masyarakat Ngaju dimana kemungkinan besar mereka pernah tersebar di dalam wilayah (eks) Afdeeling Bandjermasin walaupun mereka tetap diduga bukan penduduk asli di kawasan tersebut sebelum akhirnya mereka terdesak sehingga pindah ke tempat yang lebih jauh ke daerah pedalaman (Alfani Daud, 1997).

Akibat dari ekses nenek moyang Urang Banjar yang terus bergerak dinamis membangun daerah hunian baru, maka di saat yang sama cikal bakal nenek moyang Urang Banjar membentuk pusat-pusat kekuasaan yang awalnya berskala kecil; kewibawaannya juga meliputi kelompok-kelompok Dayak di sekitarnya, yaitu suku Dayak Manyan di lembah Tabalung dan Balangan (dan sebelah hilirnya), dan suku Dayak Bukit di lembah sungai-sungai lainnya. Ketika pusat-pusat kekuasaan yang kecil-kecil itu berhasil dipersatukan dalam suatu pusat kekuasaan yang lebih luas, pusat kekuasaan yang menyatukan seluruh wilayah Banjar ini bergerak arah ke selatan sejalan dengan terbentuknya delta-delta baru di lembah Negara. Seirama dengan pergeseran ibukota dan pertemuan serta percampuran dengan kelompok-kelompok Dayak, yaitu Dayak Bukit dan Dayak Manyan, dan Dayak Ngaju, ibukotanya kemudian berada di Banjarmasin, maka masyarakat Banjar berkembang menjadi tiga kelompok subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu dan Banjar (Kuala) (Alfani Daud, 1997).

Mencermati sejumlah rangkaian proses kemunculan Urang Banjar selama berabad-abad teluk raksasa yang maha luas itu berubah menjadi rawa-rawa dan daratan, maka ternyata cikal bakal masyarakat Banjar itu menempati suatu wilayah yang dibatasi oleh Pegunungan Meratus di sebelah timur dan di sebelah barat dibatasi oleh sungai Barito. Mereka kemudian mendesak orang-orang Dayak dengan sedemikian rupa sehinggakelompok-kelompok Bukit mendiami daerah Pegunungan Meratus yang lebih jauh, kelompok-kelompok Manyan hanya tersisa sedikit di lembah Tabalong dan lembah Balangan, dan kelompok-kelompok Ngaju tidak ada lagi di daerah ini, kecuali mereka yang melebur ke dalam masyarakat Banjar. Selanjutnya, Masyarakat Dayak, khususnya Bukit dan Manyan, mempunyai dongeng-dongeng yang menyatakan tentang kenangan mereka tentang daerah-daerah yang dahulu merupakan tempat tinggal mereka (Alfani Daud, 1997).

Selanjutnya memberikan sebuah ilustrasi tentang percampuran darah dengan kelompok-kelompok Dayak setempat. Kebudayaan kaum imigran Melayu lebih unggul dan lebih dominan dari kebudayaan masyarakat yang lebih asli Sehingga meskipun mungkin darah Dayak lebih banyak mengalir dalam tubuh kelompok masyarakat Banjar tertentu, namun kebudayaan yang dikembangkannya tetap merupakan kebudayaan kaum pendatang. Bahasa yang dikembangkan juga merupakan bahasa kaum pendatang, yaitu bahasa Melayu yang mereka bawa sebelum berimigrasi ke daerah baru. Tentu, ini kemudian melahirkan bahasa Melayu yang kaya dengan banyak kosakata yang berasal dari bahasa Melayu setempat. Bahasa Melayu yang berkembang setidak-tidaknya terdiri atas dua dialek yang besar, yaitu bahasa Banjar (Kuala) dan bahasa Pahuluan atau Banjar Hulu dan masing-masing terdiri atas subdialek-subdialek yang lebih kecil (Alfani Daud, 1997).

Ketika wilayah kependudukan Urang Banjar yang merupakan kerja keras dan kerja cerdas para pendatang membentuk masyarakat baru bernama Urang Banjar dikaitkan dengan Kesultanan Banjaryang merupakan sebuah sebutan untuk pusat kekuasaan.Kawasan tersebut pernah meliputi wilayah yang jauh lebih luas daripada sekedar wilayah yang secara tradisional dapat dinamakan Tanah Banjar. Daerah hulu Barito (sekarang Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah) adalah basis para pendukung kesultanan yang memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda hingga permulaan abad ini. Hikajat Bandjar (Ras, 1968) mencatat daerah pantai timur, selatan, dan tenggara Kalimantan sebagai daerah kekuasaan sultan Banjar pada masa awal atau pada zaman permulaan kesultanan Islam (Alfani Daud, 1997).

Namun daerah-daerah di luar eks Afdeeling Bandjermasin dan Afdeeling Hoeloe Soengei tidak pernah dirasakan sebagai daerah Banjar. Hal ini mungkin karena perbedaan bahasa dan atau perbedaan agama sejak berabad-abad Banjar selalu diidentikkan dengan Islam, sedangkan penduduk daerah selebihnya masih menganut agama suku. Orang-orang Barito tidak pernah merasakan dirinya sebagai orang Banjar karena kedua hal itu. Orang-orang Dayak Bukit juga sering merasakan hal yang serupa sehingga pada proses pemisahan Kalimantan Tengah (dari Provinsi Kalimantan Selatan) pada tahun enam puluhan, ada di antara kelompok-kelompok Dayak Bukit yang mengirim orang-orangnya untuk “berjuang” dipihak gerombolan. Masyarakat Dayak Manyan di Dusun Timur (hanya beberapa kilometer dari Kelua, bagian dari Kabupaten Tabalong) menuntut bahwa wilayah Kelua dan bagian tertentu wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara menjadi daerah tradisional mereka. Hal ini cukup beralasan karena wilayahnya cukup luas dan dihuni oleh penduduk yang cukup banyak sehingga memadai untuk membentuk suatu kabupaten Manyan tersendiri dalam wilayah provinsi Kalimantan Tengah. Sebaliknya orang-orang Bakumpai, suku asal Ngaju di sekitar kota Marabahan, yang memeluk Islam secara berkelompok sekitar permulaan abad yang lalu merasa dirinya sebagai orang Banjar meskipun mereka sebenarnya mengembangkan bahasa sendiri, yang jauh berbeda dari bahasa Banjar. Saat ini mereka umumnya menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Bakumpai sebagai bahasa ibu dan bahasa Banjar sebagai bahasa pergaulan (Alfani Daud, 1997).


Geografis Kalimantan Selatan
Propinsi Kalimantan Selatan secara geografis terletak di antara 114 19′ 13″ - 116 33′ 28″ Bujur Timur dan 1 21′ 49″ - 4 10′ 14″ Lintang Selatan. Secara administratif, Provinsi Kalimantan Selatan terletak di bagian selatan Pulau Kalimantan dengan batas-batas: Sebelah barat dengan Provinsi Kalimantan Tengah, sebelah timur dengan Selat Makassar, sebelah selatan dengan Laut Jawa dan sebelah utara dengan Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan letak tersebut, luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan hanya 6,98 persen dari luas Pulau Kalimantan secara keseluruhan.

Secara administratif, wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dengan kota Banjarmasin sebagai ibukotanya meliputi 11 kabupaten dan 2 kota. Persentase luas terbesar adalah Kabupaten Kotabaru (25,11%), Kabupaten Tanah Bumbu (13,50%) dan terkecil adalah Kota Banjarmasin (0,19%) dan Kota Banjarbaru (0,88%).

Bentuk geologi wilayah Kalimantan Selatan sebagian besar berupa Aluvium Muda dan formasi Berai.Kemiringan tanah dengan 4 kelas klasifikasi menunjukkan bahwa 43,31 persen wilayah Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai kemiringan tanah 0 – 2%.
Rincian luas menurut kemiringan adalah sebagai berikut:
1. 0 – 2% : 1.625.384 Ha (43,31%);
2. >2 – 15% : 1.182.346 Ha (31,50%);
3. >15 – 40% : 714.127 Ha (19,02%);
4. >40% : :231.195 Ha (6,16%).

Luas wilayah Kalimantan Selatan menurut kelas ketinggian yang dibagi menjadi 6 kelas ketinggian menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan Selatan sebagian besar berada pada kelas ketinggian >25 – 100 m di atas permukaan laut yakni 31,09 persen.Tanah di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan sebagian besar berupa hutan (43 persen).Wilayah Kalimantan Selatan juga banyak dialiri sungai. Sungai tersebut antara lain Sungai Barito, Sungai Riam Kanan, Sungai Riam Kiwa, Sungai Balangan, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, Sungai Tapin, Sungai Kintap, Sungai Batulicin, Sungai Sampanahan, dan lain sebagainya. Umumnya, sungai-sungai tersebut berpangkal pada pegunungan Meratus, bermuara di Laut Jawa dan Selat Makassar (Kalimantan Selatan Dalam Angka, 2010). 

Penduduk
Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kalimantan Selatan adalah 3.626.119 orang, yang terdiri dari 1.834.928 laki-laki dan 1.791.191 perempuan. Dari hasil tersebut, penyebaran penduduk terbesar di Kalimantan Selatan masih terkonsentrasi di ibukota provinsi, yaitu di Kota Banjarmasin sebesar 17,25 persen. Kabupaten/Kota dengan penyebaran penduduk terbesar berikutnya adalah Kabupaten Banjar sebesar 13,96% persen, Kabupaten Tanah Laut sebesar 8,17 persen serta Kabupaten Kotabaru sebesar 8,02 persen, sedangkan kabupaten/kota lainnya berada di bawah 8 persen (Kalimantan Selatan Dalam Angka, 2010).

Penduduk asli Kalimantan Selatan terdiri dari berbagai kelompok etnik, antara lain:
  1. Suku Banjar mendiami daerah aliran sungai dari Banjarmasin sampai Amuntai dan daerah pahuluan atau pedalaman dari Banjarmasin, Martapura, Pelaihari, Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai, dan Tanjung;
  2. Suku Dayak Dusun Deyah mendiami daerah Upau Pangelak, Gunung Riyut, Kawang, Haruai, Mangkupum, dan Kinarum di daerah Kabupaten Tabalong;
  3. Suku Dayak Balangan mendiami daerah Halong dan sekitarnya di Kabupaten Balangan;
  4. Suku Manyan mendiami daerah Warukin dan Pasar Panas di Kabupaten Tabalong;
  5. Suku Lawangan mendiami daerah Muara Uya Utara, Kabupaten Tabalong;
  6. Suku Abal mendiami daerah Kampung Agung sampai ke Haratai, Kabupaten Tabalong;
  7. Suku Bukit mendiami pegunungan Meratus, yakni daerah pegunungan di Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tapin, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Kotabaru, dan lain seterusnya.
  8. Suku Bakumpai mendiami daerah Kabupaten Barito Kuala, yaitu Marabahan dan sekitarnya (M. Suriansyah Ideham, dkk, 2007).
Selain penduduk asli, terdapat pula penduduk pendatang dari berbagai kelompok etnik yang berasal dari luar Kalimantan Selatan. Penduduk pendatang ini antara lain terdiri atas:
  1. Suku Bugis mendiami daerah Pagatan dan sekitarnya di Kabupaten Tanah Bambu dan Kotabaru;
  2. Suku Madura sejak sebelum pertengahan abad ke-20 telah bermukim di daerah Madurejo dan sekitarnya di Kecamatan Pengaron, daerah Riam Kiwa, Kabupaten Banjar;
  3. Suku Bajau mendiami rampa-rampa (perkampungan-perkampungan di tepi laut) Bajau di daerah Kotabaru;
  4. Suku Mandar mendiami daerah Pulau Laut dan Pulau Sebuku di Kabupaten Kotabaru;
  5. Suku Jawa Tamban mendiami daerah Purwasari Tamban, Kabupaten Barito Kuala sejak awal abad ke-20 dan daerah transmigrasi sekarang;
  6. Cina Parit mendiami daerah Sungai Parit Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut.
  7. Suku Bali bermukim di daerah transmigrasi Barambai, Kabupaten Barito Kuala, Sebamban di Kabupaten Kotabaru, dan sedikit di daerah sekitar Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut (M. Suriansyah Ideham, dkk, 2007).
Selain itu, juga terdapat etnis keturunan Arab yang menempati perkampungan Arab di daerah-daerah tertentu di Kalimantan Selatan. Selanjutnya diantara penduduk pendatang tersebut, maka suku Bugis yang datang secara resmi dengan membentuk kerajaan di daerah Kalimantan Selatan atas ijin resmi dari raja Banjar yang berkuasa saat itu. Kerajaan Bugis ini membawa budaya aslinya ke daerah ini, termasuk sistem pemerintahan dan adat-istiadatnya.

Penduduk pendatang lainnya datang ke daerah ini melalui transmigrasi dan ada pula yang datang secara spontan. Dengan demikian, budaya luar Kalimantan Selatan ikut berbaur di daerah ini, selain pembauran budaya antar kelompok etnis yang merupakan penduduk asli daerah ini.Berdasarkan sensus penduduk, ada beberapa suku kecil yang berdoomisili di Kalimantan dan tergambar di dalam Suku Bangsa di Kalsel

0 Response to "Karakteristik Umum Geografis dan Kebudayaan Banjar"

Post a Comment