Tragedi Politik Nasional


Sungguh mahal harga yang harus dibayar oleh bangsa ini akibat inovasi politik Bung Karno. Ide dasarnya untuk membentuk front persatuan rakyat yang hanya melibatkan kaum nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) melahirkan konstelasi politik yang saling bertentangan. Di satu sisi, kaum komunis dan nasionalis kiri membentuk front bersama, sementara itu Angkatan Darat dengan didukung golongan agama dan nasionalis kanan berada di sisi yang lain. Interaksi kedua kekuatan itu dengan Bung Karno lah akhirnya menyebabkan ketegangan-ketegangan politik, yang memuncak dengan meletusnya peristiwa Gerakan 30 September/PKI tahun 1965.

Soekarno & Soeharto

1. Konflik Ideologis dan Politik Tahun 1948–1965
Kata Sir John Seely, orang yang tidak mempelajari sejarah sebetulnya orang yang tidak bijaksana. Perjuangan, perundingan, dan pemberontakan yang terjadi pada masa lalu bangsa ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga untuk dipelajari dan direnungkan. Dengan begitu, orang akan lebih bijak dalam melihat mana kawan dan mana lawan dalam kehidupannya. Berikut ini kita deskripsikan konflik dan pergolakan yang terjadi di Indonesia hingga meletusnya pemberontakan PKI tahun 1965.

a. Pemberontakan PKI/Madiun
Saat itu Indonesia berbentuk serikat di bawah Kabinet Hatta sedang melangsungkan perundingan-perundingan dengan Belanda. Perhatian pemerintah mendadak terpecah ketika Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin mengadakan provokasi terhadap lawan-lawan politiknya. Berbagai organisasi pro-PKI seperti Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Serikat Buruh Pribumi (Sarbupri), dan Barisan Tani Indonesia (BTI) mengadakan aksi pemogokan di berbagai daerah untuk menentang pemerintah. Misalnya yang terjadi pada pabrik karung di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah.

Suasana semakin panas saat Musso datang dari Moskow (Uni Soviet) pada bulan Agustus 1948. Dengan cepat, ia mengubah haluan dan ideologi PKI menjadi lebih revolusioner. Partai Sosialis dan Partai Buruh pun bergabung dengan PKI. Dalam sebuah rapat, Musso berpendapat bahwa revolusi Indonesia adalah bagian dari revolusi dunia. Oleh karena itu, Indonesia haruslah berada di pihak Rusia. Pendapat Musso ini dibantah oleh Hatta dengan mengatakan bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertentangan politik internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita Indonesia merdeka seluruhnya.

Musso dan kawan-kawan secara frontal menyerang kebijakan pemerintahan Hatta yang tengah berusaha berunding dengan Belanda. Bahkan, Musso juga menentang kebijakan pemerintah dalam melebur kesatuan-kesatuan bersenjata menjadi satu badan bersenjata dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kekuatan-kekuatan bersenjata ini memang telah dibentuk oleh Amir Syarifuddin saat menjadi menteri pertahanan. Provokasi PKI terhadap Angkatan Darat meningkat pada akhir bulan Agustus hingga awal September 1948. Di Solo mereka menculik dan membunuh Panglima Divisi IV Kolonel Sutarto, membunuh Dr. Mawardi, menyerang Batalion I/Brigade II/Divisi I Siliwangi dan menyerang penjara Sragen sehingga timbul kekacauan. Namun, mereka gagal mengusir Divisi I Siliwangi dari Solo dan pemerintah kemudian menempatkan Kolonel Gatot Subroto sebagai gubernur militer daerah Solo.

Simpatisan PKI Madiun

Akhirnya, tanggal 18 September 1948 PKI Musso mengadakan coup di Madiun dengan menggunakan kesatuan-kesatuan Brigade 29 di bawah pimpinan Letkol Dachlan. Para komandan dan kepala kesatuan di Madiun ditangkap dan dibunuh oleh FDR/PKI, kecuali Letkol Kartidjo yang berhasil meloloskan diri. Setelah merebut Kota Madiun, FDR/PKI memproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia. Bertindak sebagai Gubernur Militer adalah Kolonel Jokosuyono dengan komandan komando pertempuran Letkol Dachlan. Tujuan gerakan Amir-Musso adalah mengganti Soekarno-Hatta, mengubah UUD yang berdasarkan Pancasila dengan dasar komunis, dan mengganti asas demokrasi dengan asas diktator. Melalui corong radio Gelora Pemuda, Jokosuyono mulai menyerang pemerintah dengan menuduh Soekarno-Hatta telah menjual tanah air kepada kaum kapitalis. Ia juga menyatakan bahwa TNI adalah kepanjangan tangan kaum kolonial. Gerakan dan pernyataan tokoh-tokoh FDR/PKI ini memicu konfliknya dengan TNI AD. Setelah menerima kewenangan dari presiden, Panglima Besar Jenderal Sudirman menugaskan kepada Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang Kolonel A.H. Nasution untuk memulihkan keamanan dalam waktu dua minggu.

Pidato Bung Karno tentang Kudeta PKI di Madiun 
Sehari setelah Musso merebut Kota Madiun, tanggal 19 September 1948 Presiden Ir. Soekarno berpidato ”Kemarin pagi PKI-Musso mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana pemerintahan Soviet di bawah pimpinan Musso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh pemerintah Indonesia. Nyata dengan ini, bahwa peristiwa Solo dan Madiun itu, tidak berdiri sendiri melainkan adalah suatu rangkaian tindakan untuk merobohkan pemerintahan Republik Indonesia . . . Engkau dan kita sekalian mengalami percobaan yang sebesar-besarnya dalam menentukan nasib kita sendiri, dan adalah memilih satu antara dua: ikut Musso dengan PKI-nya atau ikut Soekarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia yang merdeka tidak terjajah oleh negara apa pun . . . .”
Dua minggu Musso menduduki Kota Madiun, mereka disapu bersih oleh TNI dari Kesatuan Divisi Siliwangi. Melalui Gerakan Operasi Militer I (GOM), Kota Madiun bisa direbut tanggal 30 September 1948 pukul 16.15 WIB. Saat menyambut pembebasan Kota Madiun dari tangan FDR/PKI Musso itu, presiden berpesan bahwa dengan jatuhnya Madiun, pekerjaan belumlah selesai. Ia berkata pemimpin-pemimpin PKI-Musso masih berkeliaran, yang masih menjadi penyakit bagi republik yang mengganggu kesehatan negara.

b. Pemberontakan DI/TII
Reaksi dalam bentuk yang lain muncul di Jawa Barat. Tidak hanya mengadakan perlawanan seperti di daerah lain, tetapi mereka berniat membentuk negara baru. Pada tanggal 7 Agustus 1949 diproklamasikanlah Negara Islam Indonesia di Tasikmalaya oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Semula, gerakan Kartosuwirjo hanya berkisar di Jawa Barat. Mereka bisa leluasa membentuk Tentara Islam Indonesia dan menguasai negara sendiri, menimbulkan teror bagi rakyat. DI/TII adalah kasus terberat dan terlama yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Kartosuwirjo sendiri akhirnya baru berhasil ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962 di Gunung Geber, Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam Operasi Bratayudha. Dengan ditangkapnya imam Negara Islam Indonesia ini, berakhirlah petualangan DI/TII di Jawa Barat. Ternyata gerakan-gerakan dengan misi yang sama juga muncul di daerah lain.


Pemberontakan DI/TII

1) Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah
Gerakan DI/TII dipimpin oleh Amir Fatah. Semula, ia adalah Komandan Laskar Hizbullah di Mojokerto, Jawa Timur. Setelah bergabung dengan TNI, ia masuk Batalion 52 yang dipimpin Mayor Moh. Bachrin di Wonosobo. Batalion ini kemudian bisa dipengaruhi sehingga bertambah banyak pengikut Amir Fatah. Akhirnya, pada tanggal 23 Agustus 1949 diproklamasikanlah DI/TII di Desa Pangarasan, Tegal dan menyatakan diri bergabung dengan Kartosuwirjo. Akibatnya, ada pemerintahan kembar di daerah Brebes–Tegal. Tentu hal ini membingungkan rakyat. Apalagi setelah pasukan Amir Fatah mulai menyerang pusat-pusat TNI dan Brimob.

Sementara itu, di Kebumen muncul pula gerakan DI/TII dipimpin oleh Mohammad Mahfu’dh Abdulrachman (Kiai Somalangu). Gerakan yang juga hendak mendirikan negara Islam ini menjadi kuat karena keterlibatan Batalion 423 dan 426. Untuk menghadapi gerakan-gerakan itu pemerintah membentuk pasukan baru dengan nama Banteng Raiders. Akhirnya, melalui Operasi Guntur tahun 1954 gerakan mereka bisa dilumpuhkan oleh TNI.

2) Pemberontakan Kahar Muzakar
Kahar Muzakar menghimpun dan memimpin bekas pejuang kemerdekaan serta laskar-laskar dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Semula, Kahar Muzakar adalah Komandan Tentara Republik Indonesia (TRI) Persiapan Resimen Hasanuddin yang bermarkas di Yogyakarta. Ia pulalah, bersama Andi Matalata dan M. Saleh Lahade yang merintis pembentukan TRI di Sulawesi. Pada tanggal 30 April 1950 ia mengirim surat kepada pemerintah dan pimpinan APRIS yang berisi tuntutan agar semua anggota KGSS dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Tentu, tuntutan ini ditolak oleh pemerintah karena demi profesionalisme angkatan perang, pemerintah menerapkan seleksi yang ketat. Hanya yang lulus penyaringan yang bisa diterima sebagai anggota APRIS.

Ada dua solusi yang ditawarkan pemerintah, yaitu menyalurkan eks gerilyawan itu ke dalam Korps Cadangan Nasional dan member pangkat acting Letnan Kolonel kepada Kahar Muzakar. Namun, saat akan dilantik tanggal 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar bersama anak buahnya melarikan diri ke hutan dengan membawa peralatan dan senjata yang baru didapatkannya. Pada tahun 1952 ia menyatakan daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari NII pimpinan Kartosuwirjo. Penguasaan medan dan dukungan persenjataan membuat gerakan Kahar Muzakar sulit dijinakkan. Akhirnya, setelah lebih kurang 14 tahun bergerilya Kahar Muzakar berhasil ditangkap pada bulan Februari 1965 oleh pasukan Divisi Siliwangi. Gerakan Kahar Muzakar praktis bisa dipadamkan setelah pembantu utamanya Gerungan juga berhasil ditangkap pada bulan Juli 1965. 

3) Pemberontakan Daud Beureueh
Di Aceh muncul pula gerakan Mohammad Daud (karena ia lahir tanggal 17 September 1899 di Dusun Beureueh, Aceh, Pidie, ia dikenal Daud Beureueh). Pada tanggal 21 September 1953 ia memproklamasikan bahwa Aceh adalah bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Latar belakang gerakan ini adalah akumulasi kekecewaan kepada pemerintah pusat. Dahulu, berdasar Ketetapan Pemerintah Darurat RI No. 8/Des/WKPH tanggal 17 Desember 1949 yang ditandatangani Sjafruddin Prawiranegara (Presiden PDRI), Aceh merupakan provinsi dengan gubernur militernya Daud Beureueh. Namun, pada tanggal 8 Agustus 1950 Dewan Menteri RIS memutuskan bahwa wilayah Indonesia terbagi menjadi sepuluh daerah provinsi. Provinsi Aceh dilikuidasi menjadi satu kesatuan di dalam Provinsi Sumatra Utara.

Pemberontakan Daud Beureueh

Rakyat Aceh yang mempunyai andil besar saat-saat awal berdirinya Republik Indonesia pun melawan. Apalagi janji penerapan syariat Islam yang pernah diucapkan Presiden Ir. Soekarno saat berkunjung ke Aceh tanggal 16 Juni 1949, tidak pernah ditepati. Dari situlah, kita merunut munculnya pergolakan di Aceh, bahkan hingga kini. Oleh karena itu, pemerintah praktis tidak bisa menyelesaikan pergolakan di Aceh secara tuntas. Daud Beureueh sendiri akhirnya mau turun gunung dan mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh tanggal 17–28 Desember 1962. Pergolakan mulai surut setelah Daud Beureueh kembali ke tengah-tengah masyarakat.

c. Pemberontakan APRA
Pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung meletus peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Latar belakangnya adalah adanya friksi dalam tubuh Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) antara tentara pendukung federalis (KNIL/KL) dengan pendukung unitaris (TNI). Bekas anggota KNIL yang tetap menginginkan sebagai tentara bagi Negara Pasundan itu membentuk Angkatan Perang Ratu Adil. Mereka bahkan memberi ultimatum kepada pemerintah RIS agar tetap diakui sebagai Tentara Pasukan dan menolak segala upaya pembubaran terhadap negara bagian tersebut. Tentu, ultimatum ini ditolak pemerintah. Akhirnya, 800 orang bekas KNIL bersenjata lengkap menyerang dan menduduki Kota Bandung pada tanggal 23 Januari 1950.

Raymond Westerling

Gerakan yang dipimpin Raymond Westerling itu berhasil membunuh ratusan prajurit Divisi Siliwangi. Westerling juga merencanakan menyerang Jakarta dengan bekerja sama dengan Sultan Hamid II untuk menculik dan membunuh para menteri RIS yang tengah bersidang. Namun, usaha ini dapat digagalkan oleh APRIS dengan mengirimkan kesatuan-kesatuan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perdana Menteri RIS Drs. Moh. Hatta pun mengadakan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda. Akhirnya, Mayor Jenderal Engels (Komandan Tentara Belanda di Bandung) mendesak Westerling agar pergi meninggalkan Kota Bandung. APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh APRIS. Tindakan Westerling inilah yang menyebabkan tingginya tuntutan rakyat untuk kembali ke bentuk negara kesatuan.

d. Pemberontakan Andi Azis
Di Makassar terjadi peristiwa Andi Azis tanggal 5 April 1950. Saat itu, Kapten Andi Azis dengan satu kompi eks KNIL telah diterima sebagai anggota APRIS, di bawah Letnan Kolonel Achmad Junus Mokoginta (Pejabat Panglima Teritorium Indonesia Timur). Andi Azis menuntut agar ia yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara Indonesia Timur (NIT), dan menentang bergabungnya 900 pasukan APRIS dari Jawa yang dipimpin Mayor H.V. Worang. Pagi-pagi tanggal 5 April 1950, ia dan pasukannya menyerbu markas TNI di Makassar dan berhasil menawan Letkol A.J. Mokoginta. Akibat tidak menyetujui tindakan Andi Azis itu, Perdana Menteri NIT Ir. P.D. Diapari mengundurkan diri dan pemerintahan diambil alih oleh Ir. Putuhena (pro-RI).

Pada tanggal 21 April 1950 Wali Negara NIT Sukawati mengumumkan kesediaannya untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah pusat RIS sendiri pada tanggal 8 April 1950 memberi ultimatum agar dalam waktu 4 × 24 jam Andi Azis melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan tindakannya; pasukannya agar dikonsinyasi dan senjata maupun tawanan harus diserahkan. Oleh karena terlambat melaporkan diri, Andi Azis ditangkap. Dan bersama dengan itu dikirimlah ekspedisi ke Makassar dipimpin Kolonel A.E. Kawilarang, dengan 12 kapal, 2 tank pendarat, dan 12.000 pasukan. Pertempuran pun pecah di Makassar antara APRIS dan KNIL. Meskipun memenangkan pertempuran, APRIS masih menghadapi serangan-serangan dari berbagai tangsi KNIL.

Pada tanggal 18 Mei 1950, diadakanlah perundingan untuk menyelesaikan kemelut antara Kolonel A.H. Nasution (APRIS) dengan Kolonel Pereira (Belanda). Kesepakatannya adalah diadakan penjagaan bersama antara Polisi Militer (PM) APRIS dan Militer Politie (MP) KNIL di tangsi-tangsi KNIL dan di dalam kota. Ketegangan kembali terjadi, setelah Letnan Jan Ekel (dari Nusa Tenggara) yang tidak mengetahui adanya garis demarkasi APRIS-KNIL, ditembak oleh Belanda sesaat setelah memasuki wilayah KNIL. Pada tanggal 5 Agustus 1950 Markas Staf Brigade Mataram (dengan Komandan Letkol Soeharto) diserang oleh KNIL. Taktik ofensif APRIS berhasil memukul mundur dan mengepung KNIL. Dalam kondisi terjepit, pada tanggal 8 Agustus 1950 KNIL mengajukan diri untuk berunding. Akhirnya, Kolonel A.E. Kawilarang (APRIS) dan Mayor Jenderal Scheffelaar (KNIL) setuju menghentikan tembak-menembak serta dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.

e. Pemberontakan RMS
Pada tanggal 25 April 1950 Dr. Christian Robert Steven Soumokil (Jaksa Agung NIT) memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS). Latar belakang peristiwa ini adalah krisis yang melanda NIT.

Pemberontakan RMS

Pupella dari Perhimpunan Indonesia Maluku (PIM) mengajukan mosi tidak percaya pada parlemen NIT tanggal 20 April 1950. Lima hari kemudian mosi itu diterima sehingga kabinet NIT meletakkan jabatan. Perdana menteri berikutnya adalah Ir. Putuhena yang pro-Republik Indonesia, memprogramkan pembubaran NIT dan meleburkan wilayahnya ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Hal inilah yang memicu kekecewaan Soumokil. Setelah berhasil menghimpun pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau yang terlibat peristiwa Andi Azis, Soumokil mengadakan serangkaian rapat dan teror. Kepala Daerah Maluku Selatan J. Manuhutu dipaksa untuk menghadiri rapat-rapat gelapnya, sementara ketua Persatuan Pemuda Indonesia Maluku ia bunuh. Suasana semakin tegang setelah dua ribu orang anggota KNIL datang untuk dikembalikan ke masyarakat.

Setelah serangkaian upaya damai menemui jalan buntu, akhirnya dikirimlah ekspedisi militer dengan nama Gerakan Operasi Militer (GOM) III pada tanggal 14 Juli 1950 dipimpin Kolonel Kawilarang (Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur). Dalam operasinya, pasukan dibagi atas tiga grup. Grup I dipimpin Mayor Achmad Wiranatakusuma, Grup II dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi, dan Grup III dipimpin Mayor Surjo Subandrio. Dengan cepat, APRIS menduduki Pulau Buru, Seram, Ambon, dan lain-lain. Saat Grup II menyerang Waitatiri, tanggal 3 November 1950 Grup I berusaha merebut Benteng Nieuw Victoria. Pertempuran berlangsung dramatis seorang lawan seorang. Selanjutnya, datanglah Grup II dipimpin Letkol Slamet Riyadi. Pertempuran sengit pecah di depan benteng dan Letkol Slamet Riyadi tewas tertembak. Ambon berhasil direbut dan RMS dapat dilumpuhkan.

4. Pemberontakan G 30 S/PKI
Setelah direhabilitasi oleh pemerintah tahun 1950-an akibat gerakan PKI-Musso di Madiun, secara sistematis PKI mulai memasuki panggung politik nasional. Pelan-pelan mereka mengadakan konsolidasi organisasi, mendidik para kader, dan mengadakan infiltrasi ke berbagai lembaga dan organisasi. Kamu tentu ingat usaha yang secara meyakinkan PKI bisa masuk empat besar kekuatan nasional dalam pemilu tahun 1955. Usaha PKI untuk masuk dalam konstelasi politik nasional itu dipermudah dengan adanya gerakan separatism DI/TII, PRRI/Permesta, dan pembubaran beberapa partai politik yang dianggap terlibat di dalam gerakan-gerakan tersebut. Untuk memperkuat kedudukan dalam demokrasi terpimpin dan menumbangkan lawan-lawan politiknya, PKI menggunakan doktrin ”Pancasila = Nasakom” dalam berbagai kesempatan. PKI-pun berusaha merapat di balik pengaruh Bung Karno dan berusaha menampilkan citra sebagai pendukung Bung Karno yang paling setia.

a. Kondisi Indonesia Menjelang Pemberontakan G 30 S/PKI
Fenomena menguatnya hubungan antara Presiden Ir. Soekarno dengan PKI itu tidak luput dari perhatian Angkatan Darat. Dengan undang-undang keadaan bahaya, Angkatan Darat memang telah mengambil tindakan terhadap PKI yang dianggap menjalankan aksi sepihak dalam Peristiwa Tiga Selatan, yaitu di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan. Namun, perintah penangkapan terhadap D.N. Aidit dan pelarangan surat kabar PKI ”Harian Rakyat” yang dikeluarkan Angkatan Darat itu justru ditentang oleh presiden. Begitu pula saat Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) dan Penguasa Perang Daerah (Peparda) se-Indonesia mengadakan siding pada bulan September 1960 di Istana Negara. Saran pimpinan TNI dan para panglima kepada presiden agar jangan percaya terhadap keloyalan PKI baik atas pertimbangan ideologis maupun atas pengalaman-pengalaman yang telah lalu, pun tidak dihiraukan oleh presiden. Bahkan presiden menyalahkan sikap TNI dan melarang Peperda untuk terlibat dalam urusan politik. Dengan pengaruh kebijakan presiden, PKI bisa terus melenggang dari hadangan Angkatan Darat dan semakin leluasa mempropagandakan langkah-langkah politiknya. Menko/Wakil Ketua MPRS D.N. Aidit (yang juga ketua PKI), saat berceramah di depan Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora tanggal 16 Oktober 1964 berkata bahwa apabila kita (Indonesia) telah mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada sosialisme Indonesia, kita tidak lagi membutuhkan Pancasila. PKI pun menghantam lawan-lawan politiknya dengan pernyataan ”Anti-Nasakom = anti-Pancasila”. 

Kehidupan politik saat itu memang panas karena banyaknya isu, propaganda, hasutan, dan fitnah yang beredar di masyarakat. Berbagai pertentangan dan konflik pun terjadi di antara kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat. Wakil Sekretaris Jenderal Front Nasional yang juga anggota Comitte Central (CC) PKI Anwar Sanusi menggambarkan bahwa kita sekarang berada dalam situasi saat Ibu Pertiwi sedang hamil tua. Inilah situasi yang melanda Indonesia pada pertengahan bulan September 1965. PKI yang semakin ofensif dan Angkatan Darat saling berhadapan.

Pernyataan dan kebijakan Presiden Ir. Soekarno pada masa demokrasi terpimpin tidak saja merangsang dan memberi peluang kepada PKI, tetapi juga menyudutkan TNI. Sejak PKI berhasil menembus empat besar dalam pemilu tahun 1965, Bung Karno mulai menempatkan orang-orang PKI di berbagai lembaga bentukan pemerintah. Misalnya dalam penyusunan DPR-GR, DPA, dan Front Nasional. Berdasar pengalaman tahun 1948, pimpinan TNI memang tidak percaya lagi kepada loyalitas dan kesetiaan PKI terhadap Pancasila, UndangUndang Dasar, dan kekuasaan yang sah. Namun, presiden menghargai PKI sebagai kekuatan yang mendukung konsepsi-konsepsi presiden sehingga harus diberi posisi yang memadai. 

Ide dasar Ir. Soekarno untuk mempersatukan seluruh potensi bangsa dapat dimanfaatkan secara baik oleh PKI. Dalam kemelut tiga kekuatan politik yaitu PKI, Ir. Soekarno, dan Angkatan Darat itulah meletus Gerakan 30 September 1965/PKI.

b. Terjadinya Pemberontakan G 30 S/PKI
Satu fakta sejarah yang tidak terbantahkan oleh siapa pun bahwa pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.30 telah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat serta seorang pembantu letnan polisi. Mereka adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat), Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo (Deputi III Men/Pangad), Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan (Asisten IV Men/Pangad), Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman Angkatan Darat), Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Menko Hankam/Kasab), dan Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun (Pengawal Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena).

Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution bisa lolos dari upaya penculikan dan pembunuhan itu, meskipun kaki kirinya tertembak. Namun, putri kesayangannya, Ade Irma Suryani Nasution tewas tertembus peluru pasukan Tjakrabirawa. Empat hari kemudian, mayat mereka ditemukan di sebuah sumur tua di sekitar Lubang Buaya dekat pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah dalam keadaan sudah membusuk.

1) PKI adalah Otak dan Pelaku Pemberontakan
Menurut A.H. Nasution dalam bukunya Menegakkan Keadilan dan Kebenaran (Pandji Tertinggi Orde Baru) yang diterbitkan tahun 1967 oleh Penerbit Seruling Masa, otak dan pelaku Gerakan 30 September adalah PKI. Alasan yang ia kemukakan antara lain bahwa doktrin komunis adalah perebutan kekuasaan. Strategi dan taktik komunis yang dikembangkan oleh Lenin dan Mao Tse Tung meliputi strategic defensive dengan membentuk kader-kader dan pemimpin partai, infiltrasi dan penetrasi ke berbagai lembaga dan ormas, memobilisasi gerakan-gerakan; strategic stalemate dengan mengadakan perlawanan-perlawanan kecil serta pemberontakan setelah tercipta basis-basis yang kuat; strategic offensive terbentuknya suatu pemerintahan transisi yang diwakili semua golongan kaum komunis menduduki/menempati posisi-posisi penting dalam aktivitas negara itu.

Semenjak tahun 1955 PKI telah berubah menjadi partai dengan massa yang besar dan fanatik, yang telah menyebar di berbagai daerah. Mereka jugalah yang mendalangi berbagai aksi sepihak yang terjadi di Kediri (Peristiwa Jengkol), Peristiwa Kanigoro, Peristiwa Indramayu, Peristiwa Bandar Betsi, dan berbagai pemogokan serta sabotase kaum buruh. Akhirnya menurut buku Nasution itu, PKI mengadakan kudeta tanggal 30 September 1965. Penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat itu dilakukan oleh Resiman Tjakrabirawa (Pasukan Pengawal Kehormatan Istana/Presiden) di bawah pimpinan Letkol Untung Sutopo, Batalion 454, Batalion 530, dan Pemuda Rakyat.

Dugaan adanya kudeta terhadap pemerintahan yang sah itu, menurut Nasution, diperkuat oleh keluarnya pengumuman dari Letkol Untung melalui RRI Jakarta, bahwa ia selaku Komandan Pasukan Tjakrabirawa dengan dalih menyelamatkan presiden dan Republik Indonesia, telah mengadakan Gerakan 30 September untuk menghadapi rencana kudeta Dewan Jenderal. (Dewan Jenderal sendiri menurut Nasution tidak pernah ada). Setelah pengumuman itu, Bagian Penerangan Gerakan 30 September juga mengeluarkan dekret pertama tentang Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Dewan ini dimaksudkan sebagai ”sumber daripada segala kekuasaan dalam negara Republik Indonesia”.

Selain itu, dekret tersebut juga menyatakan bahwa Kabinet Dwikora demisioner sehingga perlu dibentuk Dewan Revolusi Indonesia, Dewan Revolusi Provinsi, Dewan Revolusi Kabupaten, Dewan Revolusi Kecamatan, yang terdiri sipil dan militer yang mendukung Gerakan 30 September/PKI. Demikianlah setelah mendengar dan mengetahui berbagai fakta itu, Nasution menyimpulkan bahwa PKI telah mengadakan kudeta terhadap pemerintahan yang sah dari Republik Indonesia.

2) Strategi PKI
Dalam buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia yang diterbitkan Intermasa 1989, Nugroho Notosusanto menyebutkan bahwa PKI-lah yang berada di balik Gerakan 30 September. Oleh karena itu, ada tiga tugas yang harus dilaksanakan oleh para pimpinan PKI. Pertama, memperbaiki pengaruh dan kekuasaan mereka di angkatan bersenjata. Kedua, bersiap-siap menghadapi saat-saat Presiden Ir. Soekarno tidak berkuasa lagi. Ketiga, meneruskan usaha menyebarkan pengaruh mereka di semua sektor masyarakat Indonesia. Dari ketiga tugas itu, kedekatan PKI dengan Ir. Soekarno yang saat itu memegang semua kekuasaan, membuka peluang yang lebih besar bagi misi perjuangan PKI.

Menurut Nugroho Notosusanto, PKI mengadakan serangkaian rapat maraton pada bulan Agustus–September 1965 dengan tempat yang berpindah-pindah. Beberapa keputusan pentingnya sebagai berikut.
  1. Menunjuk satu kompi Tjakrabirawa, dua peleton Brigade Infanteri I, satu batalion pasukan Para Angkatan Udara, dan 2.000 anggota terlatih dari Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lainlain, sebagai pelaku dan pendukung serangan.
  2. Mengamankan” sejumlah jenderal pada permulaan operasi karena mereka akan menentang operasi.
  3. Saat operasi berjalan, pasukan-pasukan Angkatan Darat akan dikerahkan untuk memberi kesan bahwa operasi ini adalah ”semata-mata tindakan intern dalam Angkatan Darat”.
  4. Kota Jakarta dibagi dalam berbagai sektor operasional, sementara beberapa bangunan vital seperti istana kepresidenan, stasiun radio, dan pusat telekomunikasi harus diduduki dengan maksud menguasai kota serta penduduknya. 
Dalam rapat-rapat yang diadakan di rumah Sam disepakati penggunaan Central Komando(Cenko) dengan pasukan khusus bersenjata meliputi Pasopati, Bimasakti, dan Pringgodani. Terpilih sebagai ketua Cenko Letkol Untung dengan anggota Kolonel Abdul Latief, Mayor Udara Sujono, Sam, dan Pono. Kesatuan Pasopati dipimpin Lettu Dul Arief terdiri atas satu kompi dari Batalion Kawal Kehormatan 1 Resimen Tjakrabirawa, Batalion Para 454, Batalion Para 530, dan dua peleton dari Brigade Infanteri 1, Kesatuan Pasukan Para Angkatan Udara, serta kesatuan Kavaleri. Mereka bertugas menangkap, menculik, atau membunuh para jenderal, untuk dibawa ke Lubang Buaya dan diserahkan kepada kesatuan Pringgodani. Kesatuan Pringgodani dipimpin oleh Mayor Udara Sujono yang terdiri atas satu Batalion Pasukan Para Angkatan Udara dan kekuatan massa rakyat. Mereka bertugas menjaga pangkalan Lubang Buaya, menguasai logistik, dan menerima jenderal-jenderal yang tertangkap.

Kesatuan Bimasakti dipimpin oleh Kapten Suradi bertugas menduduki instalasi-instalasi vital dan mengelola daerah-daerah yang dikuasai. Mereka terdiri atas tiga kompi dari Batalion Para 454, empat kompi dari Batalion Para 530, dan kekuatan massa dipersenjatai.

Menurut Nugroho Notosusanto, Cenko memutuskan bahwa gerakan tersebut bernama Gerakan 30 September. Dalam briefing tanggal 29 September 1965, gerakan itu diberi nama ”Gerakan 30 September” dan Jam-J adalah pukul 04.00 pagi.

Bung Karno dan Pak Harto tentang G 30 S/PKI
1. Pendapat Bung Karno:

”Saya selalu memakai kata Gestok. Pembunuhan kepada jenderal-jenderal dan ajudan-ajudan serta pengawal-pengawal terjadi pada 1 Oktober pagi-pagi sekali. Saya menyebutnya ”Gerakan Satu Oktober”, singkatnya Gestok. Penyelidikanku yang saksama menunjukkan bahwa peristiwa Gerakan 30 September itu ditimbulkan oleh ”pertemuannya” tiga sebab, yaitu:
a. kebelingernya pimpinan PKI,
b. kelihaian subversi Nekolim, dan
c. memang adanya oknum-oknum yang ”yang tidak benar”.
Sumber:Surat Presiden Soekarno Nomor 01/Pres/67 tanggal 10 Januari 1967 tentang Pelengkap Pidato Nawaksara kepada pimpinan MPRS
2. Pendapat Pak Harto:
”Apa yang menamakan dirinya ”Gerakan 30 September” telah membentuk apa yang mereka sebut Dewan Revolusi Indonesia. Mereka telah mengambil kekuasaan Negara atau lazimnya disebut coup dari tangan PYM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan melempar Kabinet Dwikora ke kedudukan demisioner, di samping mereka telah menculik beberapa Perwira Tinggi AD. Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan-tindakan mereka itu kontra revolusioner yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Sumber:Pidato Pimpinan Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto tanggal 1 Oktober 1965

c. Penumpasan Gerakan 30 September/PKI
Setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September/PKI dan Kolonel Untung mengumumkan pembentukan Dewan Revolusioner Indonesia, permasalahan menjadi sedikit terang. Reaksi pun muncul dari berbagai kalangan. Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution yang saat itu di tempat persembunyian, mengirim pesan melalui penghubung kepada Panglima KOSTRAD. Pesan itu antara lain berisi agar melokalisir pasukan lawan, menutup Kota Jakarta, minta bantuan pasukan dari KODAM VI/Siliwangi, menggunakan RRI Bandung untuk membantah adanya Dewan Jenderal, memastikan keadaan presiden, serta segera menghubungi panglima Angkatan Laut, panglima angkatan kepolisian dan panglima KKO. 

Simpatisan PKI

Pelan-pelan markas KOSTRAD pun menjadi pusat gerakan untuk melumpuhkan Gerakan 30 September/PKI. Upaya pembebasan dari Gerakan 30 September/PKI melibatkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan Batalion 328/Para Kujang/Siliwangi. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi setelah Kolonel Untung mengumumkan komposisi personalia Dewan Revolusi Indonesia, Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution mengeluarkan instruksi. Instruksi itu dimaksudkan untuk melancarkan tindakan yang cepat, tegas, menyeluruh dengan melibatkan kerja sama antarangkatan.

Pada tanggal 3 Oktober 1965 lokasi jenazah para jenderal AD telah ditemukan. Namun, karena sudah malam dan kendala teknis (keadaan sumur yaitu dengan kedalaman 12 m dan garis tengah kurang dari 1 m), pengangkatan jenazah ditunda hingga keesokan harinya. Malam itu juga, para jenderal senior AD membuat petisi kepada presiden. Isinya antara lain supaya fitnah terhadap Angkatan Darat (bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan kudeta) diperiksa. Apabila fitnah itu benar, para jenderal senior AD siap diadili. Apabila fitnah itu tidak benar, pemfitnah itu juga harus dihukum.

Bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para jenderal Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Keberangkatan jenazah dari Aula Departemen Angkatan Darat dilepas dengan pidato Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution.

Demikianlah, prahara politik yang meminta korban para perwira tinggi Angkatan Darat itu sempat menggoyahkan persatuan bangsa. Presiden Ir. Soekarno sendiri shock setelah mengetahui jenderal-jenderal Angkatan Darat itu tewas terbunuh dalam Gerakan 30 September/PKI. 

Sementara itu, di dalam tubuh Angkatan Darat terjadi dualisme kepemimpinan karena Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai panglima operasi pemulihan keamanan. Mayor Jenderal Pranoto diangkat sebagai caretaker pimpinan Angkatan Darat. Dualisme kepemimpinan dan tidak adanya penyelesaian tegas dari presiden terhadap Gerakan 30 September/PKI, memicu reaksi rakyat.

Dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor tanggal 6 Oktober 1965, Presiden Ir. Soekarno mengatakan bahwa peristiwa Gerakan 30 September/ PKI itu adalah sebuah riak dalam samudra revolusi. Mengenai penyelesaiannya, presiden menawarkan tiga opsi yaitu aspek politik Gerakan 30 September/PKI akan diselesaikan sendiri oleh presiden, aspek militer administrative diserahkan kepada Mayjen Pranoto, dan aspek militer teknis (keamanan dan ketertiban) diserahkan kepada Mayjen Soeharto. Namun, realitas yang terjadi di masyarakat menjadi tidak terkontrol dan cenderung anarkis. PKI menjadi sasaran kemarahan rakyat. Kantor Pusat PKI di Jalan Kramat Raya, Jakarta dibakar, begitu pula rumah tokoh-tokoh PKI. Konflik fisik pun pecah antara massa yang pro dan anti-PKI. Peristiwa ini tidak saja terjadi di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Orang-orang menyebut saat itu tengah terjadi perang saudara dan jutaan nyawa melayang menjadi korban. Berturut-turut tokoh-tokoh PKI ditangkap seperti Kolonel Abdul Latief (di Jakarta tanggal 9 Oktober 1965) dan Kolonel Untung (di Tegal 11 Oktober 1965).

Pada tanggal 14 Oktober 1965 Mayjen Soeharto diangkat sebagai menteri/panglima Angkatan Darat dan dilantik dua hari kemudian. Pelanpelan ia memegang kendali pemulihan keamanan dan ketertiban. Tanggal 16 Oktober 1965 Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah (selaku Penguasa Pelaksana Perang Daerah/Pepelrada) membekukan untuk sementara semua kegiatan PKI dan ketujuh ormasormasnya. Ormas-ormas PKI antara lain Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Barisan Tani Indonesia (BTI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Tindakan Pepelrada Jakarta ini diikuti oleh Pepelrada Jawa Timur (22 Oktober 1965), Pepelrada Jawa Tengah-DIY tanggal 26 Oktober 1965 menyatakan keadaan perang.

Sementara itu, mulai tanggal 20 Oktober 1965 mulai dilakukan penertiban/personalia sipil dan militer dari unsur-unsur yang terlibat Gerakan 30 September/PKI. Di masyarakat pun mulai berdiri kelompok-kelompok aksi yang menuntut pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Pada tanggal 26 Oktober 1965 mereka mengadakan rapat akbar di Lapangan Banteng untuk menuntut pembubaran PKI.

Janji Presiden Ir. Soekarno untuk menyelesaikan secara politik peristiwa Gerakan 30 September/PKI tidak kunjung direalisasikan. Konflik sosial politik di masyarakat dan seringnya terjadi tindakan main hakim sendiri, semakin memperuncing keadaan. Demonstrasi terhadap presiden pun sering terjadi di tempat ketika presiden melakukan aktivitas. Pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan aksi mahasiswa yang tergabung dalam Front Pancasila mengajukan tiga tuntutan kepada DPR-GR. Mereka menuntut pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur Gerakan 30 September/PKI, dan penurunan harga/perbaikan ekonomi. Tuntutan mereka kemudian dikenal dengan Tritura.

Upaya presiden untuk memperbaiki keadaan dengan mengadakan reshufle Kabinet Dwikora tanggal 24 Februari 1966, justru menyulut demonstrasi besar-besaran. Oleh karena dalam kabinet yang dijuluki ”Kabinet 100 Menteri” ini masih bercokol tokoh-tokoh yang dicurigai terlibat dalam Gerakan 30 September/PKI. Dalam sebuah demonstrasi, Arief Rachman Hakim (Mahasiswa Universitas Indonesia) tewas tertembak. Dalam krisis yang mencapai puncak itu, Presiden Ir. Soekarno mengeluarkan Surat Perintah kepada Men/Pangad untuk atas nama presiden yaitu mengambil tindakan demi terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Surat inilah yang dikenal Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang menjadi penanda lahirnya Orde Baru.




1 Response to "Tragedi Politik Nasional"