Kisah Inspiratif "Pulang"



Rasanya tidak seperti menginjakkan kaki atas tanah sendiri, yang telah bertahun-tahun ditinggalkan. Bau tanah yang naik oleh turunnya air hujan sepanjang hari, seperti menjalari seluruh rongga dada, seperti kuasa menggerakkan seluruh rongga dada, seperti kuasa menggerakkan seluruh pembuluh darah sekujur tubuh. Ia pernah merasa hujan di mana-mana sebagai serdadu pernah bergelut dengan lumpurnya jauh di seberang laut, tapi ini, dia berdiri di pinggir desanya untuk pertama kali, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tersendiri, yang selama ini mampu menghidupkan mimpi dan kenangan yang begitu indah. Bekas roda cikar yang digenangi air hujan, yang tampak berliku-liku oleh kepenatan sapi penariknya dan melenyap di seberang jembatan beberapa puluh hasta di depannya, seperti lukisan yang ia kenal semasa kanak-kanak.



Ia ingat, betapa ia berlari di tanah becek di belakang cikarnya, sedang di atas, ayahnya yang telah tua itu melambai-lambaikan cambuk di atas kepala sapi penariknya, sambil berteriak-teriak mengejar senja. Berapakah lamanya waktu itu telah berlalu? Ia masih kanak-kanak waktu itu, tapi lukisan itu begitu jelas seperti waktu kemarin ia tinggalkan. Tidak! Telah tujuh tahun lamanya ia meninggalkan desanya sampai kini, dengan malam-malamnya yang penuh mimpi dan kerinduan untuk menginjaknya kembali. Bukankah pohon asam itu pula, yang berdiri di samping jembatan, yang tetap rindang, tetap tegak, tetap megah melawan datangnya angin? Ia melihat bayangannya sendiri di masa kecilnya, berlarilari di pinggir pematang itu menggembala kerbaunya. Alangkah indahnya waktu itu. 

Ia merasa dan yakin kini, dalam perjalanan sejauh itu di negeri orang, dalam waktu yang sepanjang itu pula, ia tak pernah menemui sesuatu yang bisa negitu menggoncangkan hatinya. Ada sesuatu yang terasa memenuhi dada, ada sesuatu yang seperti kuasa hendak memecahkannya, tapi itu tak hendak meledak, dan jika mampu itu keluar, maka itu cuma berujud setetes air yang turun pelan dari matanya. Ia hendak berteriak sekuat-kuatnya tak tahu mengapa.Tapi jika ia berbuat itu, maka suaranya dikembalikan panjang oleh semak-semak di dataran tinggi di samping kampungnya. Tidak lagi dirasanya berat ransel yang menekan punggung, sepatunya yang penuh lumpur dan pakaiannya yang setengah basah. Bertahun-tahun lamanya ia berdoa untuk kepulangan ini. Dan kini, bila doa itu terkabul, datang saja rasa takut yang asing mulai merangsang hati. Pulang? Apakah yang dapat menggelorakan hati daripada mengalami pertemuan dengan keluarganya kembali? Ibunya sayang, wajahnya yang bersih dan pandangnya yang menentramkan, rambutnya yang telah separoh putih, matanya yang hitam sejuk itu, apa yang bisa terjadi selama tujuh tahun ini?

Begitu pula wajah ayahnya yang telah tua itu, wajah yang berkerut-kerut dengan alis kelabu yang tebal, menutupi matanya yang kecil, dan telah bersembunyi jauh ke dalam. Tujuh tahun. Apa gerangan yang bisa diberikan oleh sepanjang waktu itu oleh adiknya, Sumi, satu-satunya yang tercinta di bumi ini?

Ia tak dapat membayangkan, dan itulah yang mengisi setiap napasnya kini, dengan gita harap dan kecemasan. Langkah demi langkah ia berjalan menyusuri jembatan kayu nangka. Matahari telah menyembunyikan diri seluruhnya dari balik gunung Wilis, tinggal cahayanya yang bertambah lemah menembusi langit dan memberikan ciuman terakhir dapat mendung yang berarak-arak. Sepanjang jalan ia tak bertemu dengan seorang pun dari desanya. Ia tahu sebabnya, mereka malas turun pada petang hari yang basah seperti ini. Ia tahu, orang-orang perempuan akan sibuk mengurusi makanan untuk malam hari, yang tua duduk di balai-balai menikmati tembakau di samping api, yang muda mengumpulkan sisa rumput kering dicampur dengan sampah dari kandang sapi untuk dijadikan perapian, yang akan mengeluarkan asap untuk mengusir nyamuk di malam hari.

Pintu depan rumahnya masih seperti yang dulu, yang berwarna coklat tua. Tidak ada yang berubah, kecuali yang mencolok. Pohon jambu yang dahulu masih setinggi tubuhnya, kini telah melampaui tinggi atap rumahnya. Ia masih berdiri di depan pintu rumahnya, alangkah berat kakinya melangkah masuk, sekalipun ia yakin itu rumahnya Perempuan tua itu mengangkat mukanya. “Aku Tamim, mak!” Lambat sekali pengertian suara itu sampai kepada hatinya, dan suara itu sendiri berputar-putar di dalam telinga. Ia menangis, lalu perempuan itu berteriak memanggil suaminya, dan dengan suara panjang ia memanggil Sumi yang tengah sibuk di dapur. Dengan rasa tak percaya, ayahnya menyambutnya. Sumi datang setengah berlari dari dapur. “Lihat, ini kakakmu, Tamim. Ia datang juga akhirnya!”
“Itu Sumi, adikmu! Engkau ingat? Ia masih terlalu cilik ketika engkau pergi!” kata ayahnya. Ya, ia tahu , gadis itu adalah Sumi.

“Alanglah besarnya engkau, Sum. Berapa sudah umurmu?” Sumi menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Bagaimana aku tahu itu. Aku tak pernah menghitung!”

“Ia telah mengalami enam belas kali Maulud!” kata ayahnya.

“Ingatlah itu, Sum, engkau harus tahu itu!” lanjutnya.

“Lalu, engkau baru bocah dari sembilan tahun ketika aku pergi. Aku ingat, betapa takut engkau pada Yamaguchi, serdadu Jepang yang pernah datang ke mari. Ia adalah orang baik yang pernah kukenal. Pergi jauh meninggalkan seorang istri dan telah mati di perbatasan Burma.

“Dia?” kata ayahnya.
“Ya, Pak ! Dia meninggal sesudah dua tahun dari sini!”

Sambil membimbing anakanya yang tinggi besar itu ia berkata; “Akhirnya engkau kembali juga, Tamin. Tuhan mengabulkan doaku.”

“Padat benar tubuhmu, Tamin. Sekuat ayahmu ketika masih muda

“Sumi!” seru ayahnya, “tangkap Si Blorok, bawa ke Pak Modin. Kita potong ayam kita. Kita wajib bersyukur. Tak ada hari yang lebih besar daripada hari ini.!”

“Di mana sekarang Pardan, Mak?” Tamin menyebut salah seorang temannya yang terkarib.

“Engkau tak pernah dengar tentang dia, jadinya!” Ia telah tiada, Tamin, itu telah bertahun-tahun lamanya Ia pergi ke Surabaya dan jenazahnya yang pulang, jaman perang melawan Nica.

“Engkau masih ingat Gamik?” suara ibunya menggema lagi dari dalam dapur.

“Tuhan itu Maha Adil, Tamin! Dalam kekerdilannya ia memiliki jiwa yang besar. Saat melakukan perlawanan dengan Belanda yang jumlahnya tidak sepadan, teman-temannya berlari sementara ia seorang diri. Keeokan harinya, ia ditemukan dengan tubuh yang robek-robek oleh peluru bedil. Tak seorang pun melupakan peristiwa itu. Gamik menang, Tamin, sebab, waktu itu orang tahu, serdadu-serdadu Belanda mengangkut dua temannya ke dalam prahoto mereka sebagai bangkai!”

“Alangkah jauhnya!” kata Sumi. “Jadinya engkau sudah di pinggir bumi, Kang Tamin. Betapa rasanya itu untuk sepuluh hari di tengah laut? Engkau maksudkan malamnya juga?”

“Tentu saja malam-malamnya juga. Jika engkau belajar, seperti juga di darat, sejauh pandang engkau hanya melihat tanah dari gunung, maka di laut engkau hanya melihat air. Di depanmu, di belakangmu, di sampingmu air sematamata, tidak sejemput tanah yang tampak!” Tamin menyudahi kisahnya, hujan telah lama berhenti, tidak setetes pun yang tinggal. Semua menarik napas panjang.

“Oh, seperti aku ikut engkau selama tujuh tahun ini, Tamin!” kata ayahnya.

“Tuhan telah menyelamatkan kita dari amuknya perang!”

“Jangan pergi lagi, jangan engkau pergi lagi, Kang!” kata Sumi ketakutan.

“Engkau termasuk dalam rumah ini!”

“Katakan engkau tak akan pergi lagi, Tamin!” pinta ibunya. Mata yang sejuk itu menatap anaknya dengan penuh kasih sayang.

“Ya, aku tak hendak pergi lagi, Mak!”


(Toha Mohtar)