Pendidikan di Jaman Belanda


Walaupun pada sisi lain pelaksanaan politik etis membuat rakyat Indonesia menderita, namun ada sisi positif bagi bangsa Indonesia. Sisi positifnya ialah bahwa bangsa Indonesia menjadi semakin mengenal berbagai ide barat, seperti liberalisme, demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan kebebasan sipil pada umumnya. Di samping itu, sistem pendidikan juga berkembang di Indonesia.

Menjelang akhir abad ke-19, sekolah yang biasa disebut modern masih sangat terbatas. Demi kemajuan anak-anak mereka, keluarga-keluarga terkemuka sering harus menyewa guru privat. Sementara itu, di beberapa kalangan orang Belanda, makin terasa betapa perlunya memperkembangkan pendidikan gaya barat. Pendidikan itu perlu untuk kepentingan perluasan birokrasi dan jaringan administrasi pemerintah kolonial.




Sekolah dasar dan menengah
Sekolah yang mula-mula diperkenalkan adalah Sekolah Kelas Dua dan Sekolah Kelas Satu. Sekolah Kelas Dua mendidik calon-calon pegawai rendahan. Sekolah Kelas Satu diadakan untuk anak-anak dari golongan masyarakat atas. Selain itu, ada pula sekolah rendah yang disediakan bagi anak-anak Eropa. Sejak awal abad ke-20, pemerintah colonial memperkenalkan sistem sekolah desa atau Volksschool. Pendirian sekolah ini tergantung pada kemampuan masyarakat setempat, subsidi, dan bimbingan pemerintah.




Sekolah desa (Volksschool) ini diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Yang diajarkan di sekolah desa hanyalah sekadar kepandaian membaca, menulis, dan berhitung. Setelah lulus dari sekolah desa ini, murid-murid yang terpilih dapat melanjutkan pendidikannya ke sekolah sambungan atau Vervolgschool. Sekolah sambungan lamanya dua tahun. Lama-kelamaan, sekolah desa ini menggantikan kedudukan Sekolah Kelas Dua sebagai lembaga pendidikan yang terpenting bagi anak pribumi. Untuk keperluan anak-anak kelas masyarakat atas pemerintah kolonial mendirikan HIS (Hollandsch Inlandsche School). Dalam sekolah ini, bahasa Belanda dipakai sebagai bahasa pengantar. Lama sekolah di HIS adalah 7 tahun. Murid yang pintar dan cukup mampu dapat melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). 

MULO adalah sekolah lanjutan pertama. Setelah lulus dari MULO, para murid bisa melanjutkan ke AMS (Algemenee Middelbare School). AMS adalah sekolah lanjutan umum. Kalau pandai dan bernasib baik, setelah lulus dari AMS mereka bisa melanjutkan ke sekolah tinggi. Akan tetapi, pada masa itu untuk melanjutkan ke sekolah tinggi, orang harus pergi ke Eropa. Selain MULO dan AMS ada pula sekolah HBS (Hoogere Burgerschool). HBS adalah gabungan sekolah lanjutan pertama dan atas untuk anak-anak Eropa. Masa belajar di HBS adalah lima tahun.


Ada juga sekolah-sekolah kejuruan. Beberapa sekolah kejuruan yang ada pada waktu itu adalah STOVIA (Sekolah dokter Hindia), sekolah teknik, dan sekolah guru (Kweekschooldan Hogere Kweekschool). Ada juga sekolah untuk calon pegawai. Nama sekolah itu adalah OSVIA (Opleidingschool voor Inlandische Ambtenaren). Lama belajar di OSVIA adalah 7 tahun. Setelah selesai belajar di OSVIA orang bisa masuk ke dalam birokrasi pemerintah, misalnya menjadi pamong praja. Murid sekolah bumiputra, dari sekolah desa dan sekolah sambungan dapat juga melanjutkan belajarnya. Beberapa murid terpilih dari sekolah sambungan diberi kesempatan untuk mengikuti ujian seleksi masuk sekolah normal, sekolah guru (untuk menjadi guru sekolah desa), atau sekolah tukang.

Pada tahun 1924, murid-murid ini diberi kemungkinan untuk menyeberang ke lingkungan sekolah “Belanda”. Untuk keperluan ini, didirikan sekolah Schakel. Di sekolah Schakel ini, murid belajar bahasa Belanda. Mereka juga mulai harus menyesuaikan diri dengan suasana yang serba tertib. Selain sekolah-sekolah yang diadakan pemerintah, ada juga sekolah-sekolah swasta dan sekolah agama. Sekolah agama yang ada mulai memperbarui sistem dan metode pengajarannya. Sekolah swasta jenis ini berkembang pesat di beberapa daerah. Sekolah swasta yang tidak bersubsidi, baik Islam maupun sekuler, bersikap nasionalis dan antikolonial.

STOVIA di Jakarta dan Kweekschool di Bukittinggi mempunyai tempat yang unik dalam sejarah kebangsaan. Di STOVIA mulai bersemi semangat nasionalisme. Sebagai satu-satunya sekolah dokter untuk pribumi, maka STOVIA adalah sekolah pertama yang mengumpulkan murid-murid dari seluruh penjuru tanah air. Kweekschool di Bukittinggi tidak hanya mendidik calon guru, tetapi juga mendidik calon pegawai. Kweekschool di Bukittinggi berperan dalam memperkembangkan bahasa Melayu. Pertanyaannya sekarang ialah “Bagaimana dengan sekolah tinggi? Adakah sekolah tinggi di Indonesia pada masa penjajahan?”

Sekolah tinggi
“Sekolah tinggi bagi pribumi? Mana mungkin. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk bisa memasuki dunia ilmu dan keterampilan yang demikian pelik.” Begitulah kira-kira ocehan beberapa orang Belanda konservatif ketika timbul gagasan dari beberapa golongan swasta untuk mendirikan sekolah tinggi. Meskipun ada kritikan itu, beberapa sekolah tinggi secara bertahap mulai didirikan. Berikut ini adalah daftar sekolah tinggi yang ada pada masa penjajahan Belanda.
  1.  Sekolah teknik di Bandung (Technische Hogeschool).
  2.  Sekolah hakim (Rechtschool).
  3.  Sekolah hakim tinggi (Rechtkundige Hogeschool).
  4.  Sekolah dokter Jawa (STOVIA).
  5.  Sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool).
  6.  Akademi pemerintahan (Bestuursakademie).
Di samping kesempatan untuk belajar di dalam negeri, sebenarnya para pelajar Indonesia mendapat kesempatan untuk belajar di luar negeri, khususnya di Belanda. Karena yang bisa dibiayai oleh pemerintah sedikit jumlahnya, maka hanya yang betul-betul mampu yang sanggup mengirim anaknya belajar di Eropa. Di samping mengikuti pendidikan formal di perguruan tinggi, pemuda-pemuda Indonesia ada juga yang masuk akademi-akademi bebas ataupun mengikuti pelajaran privat. Ada di antara mereka yang berpindah-pindah, hanya sekadar mencari pedoman bagi pembulatan program yang ingin mereka terapkan di tanah air. Inilah yang dilakukan oleh tokoh pendidik Ki Hajar Dewantara di akhir tahun 1910-an.


Taman Siswa
Selain belajar di Eropa, banyak juga pelajar Indonesia yang belajar di Mesir. Mereka belajar di Al Azhar, Universitas Darul-Ulum, dan Universitas Fuad. Al-Azhar adalah pusat pengetahuan Islam tertua di dunia. Darul-Ulum adalah universitas modern yang pertama di Mesir. Di lembaga-lembaga itu, kaum terpelajar Indonesia ditempa. Seperti mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda, mahasiswa Indonesia di Kairo terlibat dalam pergerakan kebangsaan. Mereka mulai terpengaruh oleh cita-cita nasionalisme yang disebarkan di Mesir pada waktu itu. Mereka, baik sebagai tokoh politik pergerakan maupun sebagai pendidik, berhasil memperluas pengaruh di kalangan rakyat. Jalan yang terpenting bagi penyebaran pengaruh ini ialah jaringan sekolah yang didirikan oleh perkumpulan-perkumpulan mereka. Sekolah agama yang menekankan pendidikan agama atau sekolah umum tetapi bernafaskan agama memberikan pilihan baru dalam dunia pendidikan.

Sekolah swasta tak bersubsidi
Sekolah, dalam pengertian yang umum, sebenarnya tidak begitu asing dalam tradisi di tanah air kita. Pesantren, madrasah, dan berbagai jenis sekolah agama sudah lama dikenal. Tradisi sekolah ini tetap berlanjut sekalipun telah ada pilihan-pilihan lain. Pesantren dan madrasah merupakan jenis sekolah yang coraknya bertolak belakang dengan sekolah yang diperkenalkan pemerintah, baik dari sudut isi pengajaran maupun cara pendidikan. Sejak 1920-an, setapak demi setapak telah mulai adanya perubahan pengajaran pada beberapa pesantren dan madrasah yang umumnya digerakkan oleh kaum reformis Islam.

Sekolah agama yang didirikan oleh golongan ini mulai memakai system baru dan memperkenalkan berbagai jenis pengajaran umum. Kedua macam sekolah agama ini di beberapa daerah merupakan sekolah swasta yang paling penting. Sekolah umum swasta pada dasarnya bisa dibedakan antara yang mengikuti corak serta sifat sekolah pemerintah dan bersubsidi dengan sekolah yang mencari sifat lain. Taman Siswa adalah contoh yang paling jelas dalam usaha untuk memberi dasar ideologis bagi sekolah. Demikian juga sekolah umum yang didirikan oleh perkumpulan-perkumpulan agama. Misalnya sekolah yang didirikan Muhammadiyah mengikutsertakan pengajaran dan pendidikan agama untuk anak didik mereka. Selain itu, ada pula sekolah swasta yang tidak saja mencari dasar ideologis, tetapi juga memperkenalkan corak pendidikan baru. Pemerintah Belanda menamakan sekolah swasta tak bersubsidi itu sebagai wilde schoolen (sekolah liar). Disebut liar karena sekolah swasta itu sering bercorak anti kolonial dan karena sering mengalami pasang surut. Hal itu tidak saja terjadi pada sekolah yang berdiri sendiri, tetapi juga pada sekolah milik organisasi besar seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah.

Dalam banyak hal, terutama yang menyangkut keuangan, tersedianya guru-guru, dan jumlah murid, sekolah sangat tergantung pada keadaan setempat. Kalau organisasi atau orang yang mendirikan sekolah itu masih aktif dan mendapat kepercayaan masyarakat, sekolah bisa diharapkan maju. Akan tetapi, apabila penguasa setempat atau polisi bertindak, semangat pendiri mulai luntur, keadaan ekonomi mulai merosot, dan sebagainya sekolah-sekolah tersebut terpaksa harus gulung tikar. Hal terpenting yang perlu juga dicatat ialah bahwa sekolah swasta umumnya murah. Siapa pun juga bisa memasukinya tanpa memperhitungkan kedudukan ataupun kekayaan. Hal seperti itu tidak terjadi pada sekolah pemerintah. Sekolah swasta memberikan kemungkinan lain dalam sistem dan corak pendidikan. Murid-murid keluaran sekolah swasta kebanyakan berada di luar system kolonial. Sekolah-sekolah swasta yang didirikan dan diselenggarakan oleh pribumi mendidik calon-calon nasionalis.

0 Response to "Pendidikan di Jaman Belanda"

Post a Comment