Krisis Politik dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Ir. Soekarno dengan dukungan TNI, Dewan Nasional, dan kabinet mengkritik Konstituante agar menghentikan perdebatan yang bertele-tele itu, serta kembali ke UUD 1945. Pada saat sidang pleno Konstituante di Bandung itu, presiden menyampaikan pidato yang berjudul Res Publika! Sekali Lagi Res Publika! Beliau antara lain mengatakan, ”Marilah kita mencari dan menemukan kepribadian kita sendiri. Saudara-saudara, pokok daripada pokok ajakan saya ialah: Saya minta saudara-saudara menetapkan UUD’45 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Oleh karena dengan itu kita semua tetap sadar bahwa kita sebagai bangsa masih berada dalam medan perjuangan. Medan perjuangan! Tetap dalam medan perjuangan. Medan perjuangan politik, ekonomi, dan sosial.” Semenjak saat itu, dukungan untuk kembali pada UUD 1945 mulai diserukan oleh berbagai lapisan dalam masyarakat melalui rapat-rapat umum, demonstrasi, petisi, dan lain-lain.


Pemungutan Suara Konstituante
Untuk menindaklanjuti usul presiden itu, tanggal 30 Mei 1959 Konstituante mengadakan pemungutan suara. Dari 474 orang anggota Konstituante yang hadir, 269 setuju kembali ke UUD 1945 dan 199 menolak. Sesuai pasal 37 UUDS 1950 hal itu belum memenuhi kuorum. Pemungutan suara yang kedua diadakan tanggal 1 Juni 1959 dengan hasil 263 suara setuju dan 203 menolak. Oleh karena belum juga memenuhi kuorum, diadakanlah pemungutan suara yang ketiga tanggal 2 Juni 1959 dengan hasil 264 setuju dan 204 menolak. Setelah tiga kali mengalami kegagalan, akhirnya Konstituante mengadakan reses. Ternyata, semenjak itu mereka tidak lagi mengadakan persidangan untuk selama-lamanya.

Untuk mengantisipasi dampak krisis konstitusi itu, KSAD Letnan Jenderal A.H. Nasution atas nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu) mengeluarkan peraturan No. Prt/Peperpu/040/1959 tentang Larangan Mengadakan Kegiatan-kegiatan Politik. Peraturan ini mulai berlaku tanggal 3 Juni 1959 pukul 06.00. Berbagai kalangan kemudian mengusulkan dan mendesak kepada presiden untuk mengeluarkan dekrit tentang berlakunya kembali UUD 1945 serta membubarkan Konstituante.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Saat itu Indonesia benar-benar dilanda krisis ketatanegaraan. Hal ini tentu sangat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Benihbenih separatisme tumbuh dan berkembang di berbagai daerah. Tumpuan keselamatan bangsa akhirnya berada di pundak presiden dan TNI. Dengan berdasar pada staatsnoodrecht atau hukum keadaan bahaya bagi negara, pada tanggal 5 Juli 1959 jam 17.00, Ir. Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden. Isinya antara lain membubarkan Konstituante dan menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Dukungan terhadap dekrit itu pun mengalir dari berbagai lapisan. KSAD mengeluarkan Perintah Harian yang ditujukan kepada seluruh anggota TNI agar melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung (MA) sendiri juga membenarkan dan mendukung keluarnya dekrit presiden itu.

Begitulah, setelah dikeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 terbentuklah struktur kekuasaan yang baru. Di dalam kekuasaan itu, ada dua kekuatan yang memegang peranan penting, yaitu Ir. Soekarno dan Angkatan Darat dengan tokoh utama A.H. Nasution. Semenjak saat itu, sistem kepartaian yang semula bersifat multipartai mulai disederhanakan. Fungsi dan peranan angkatan bersenjata mulai merambah lembaga sipil dan pemerintahan. Inilah yang dikenal dengan doktrin dwifungsi ABRI, bahwa ABRI mempunyai misi militer dan sipil.



0 Response to "Krisis Politik dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959"

Post a Comment