Kisah Inspiratif "Jangan Kalah Sebelum Berperang"


Hampir semua siswa berjingkrak-jingkrak dan melompat-lompat gembira. Corat-coret dengan cat semprot warna-warni di mana-mana. Baju, celana, bahkan rambut. Rupanya mereka tidak puas dengan apa yang mereka lakukan sehingga mereka sepakat akan pawai keliling kota untuk merayakan kelulusan mereka. Setelah melihat pengumuman, hampir semua lulus, meskipun ada beberapa yang terpaksa ikut ujian ulang.


”Kamu mau kuliah di mana, San?” tanya Inayah kepada Santi.

”UGM. Keluargaku semua lulusan dari sana!” jawab Santi dengan gembira.

”Kalau aku ke UNS saja. Lebih dekat dengan tempat tinggalku,” kata Via memberitahukan pilihannya.

”Aku juga!” celetuk Umul. ”Oh ... kita sama-sama!” kata Iim gembira. Ketiganya lalu berpelukan.

Semua meluapkan kegembiraan. Hanya Ady saja yang tampak murung. Padahal ia lulus dengan nilai yang tinggi. Jika dibandingkan dengan teman satu kelasnya, ia yang paling tinggi, karena ia termasuk nomor dua besar. Mukanya bagaikan kertas yang terlipat. Wajahnya tidak kelihatan berseri seperti yang lain. Kelihatannya banyak sekali yang dipikirkan Ady.

Telah didengarnya betapa mahalnya biaya untuk masuk ke perguruan tinggi negeri, belum lagi kalau lewat swadana, lebih-lebih jika di PTS (Perguruan Tinggi Swasta) bakal ngabisin uang tidak sedikit. Uang gedung, biaya per semester, biaya buku, belum lagi biaya hidup di kos. Serasa putus harapan. Ady anak sulung.

Ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan dan ibunya di rumah menganggur. Dapat dibayangkan betapa sangat minimnya pemasukan dari pekerjaan tukang batu. Adiknya masih dua. ”Apakah bapakku mampu membiayai jika nanti aku melanjutkan kuliah?” tanya Ady dalam lamunannya.

Rupanya wajah murung Ady diperhatikan oleh Muzi teman satu kelasnya. Kemudian, didekatinya wajah murung itu.

”Ada apa, Dy? Kok, melamun? Kayak orang baru dirundung masalah besar saja?” tanya Muzi pada Ady.

”Ah ... nggak ... cuma lagi pengen sendiri saja!” jawab Ady dengan berusaha untuk tersenyum, meskipun dalam hati sebenarnya iri dengan teman-temannya.

”Nggak mungkin! Pasti ada sesuatu! Ayolah, ngomong! Siapa tahu aku bisa membantu!” desak Muzi ingin tahu apa yang terjadi.

”Ah ... aku nggak ingin membebani kamu dengan masalahku!

O ... ya, kamu mau kuliah di mana, Zi?” tanya Ady seolah-olah ingin mengalihkan pembicaraan.

”Beneeer! Nggak apa-apa, kok!” jelas Ady meyakinkan temannya itu.

”Ya ... udah, kalau gitu aku ucapin selamat, ya, Ady! Kamu lulus dengan nilai memuaskan,” kata Muzi sambil menjabat tangan Ady.

”Terima kasih, Zi! Berkat doa kamu juga!” kata Ady.

”Akan mendaftar kuliah di mana?” tanya Muzi.

”Entahlah, Zi! Belum tentu aku bisa melanjutkan kuliah!” jawab Ady pelan.

Muzi dapat menerka kesulitan apa yang kira-kira menimpa temannya itu.

”Kalau soal biaya yang menjadi kesulitanmu, itu bisa diatasi. Kau masih ingin kuliah, bukan?” tanya Muzi sambil menghibur.

Ady mengangguk. Matanya berkaca-kaca menahan perasaannya.

”Ada saja yang mengalami nasib seperti kau ini. Ingin melanjutkan kuliah, tapi terbentur pada soal biaya. Tapi, tidak sedikit yang berhasil memecahkan persoalan itu dan bisa melanjutkan kuliah. Seperti tetangga saya, Joko, bisa kuliah karena dia tiap pagi jadi loper koran. Iwan berhasil, dengan jualan makanan di pinggir jalan, paginya kuliah. Sore hari menyiapkan makanan untuk dijual pada malam hari. Perlu kamu ketahui, Ady! Si Nia, kakak kelas kita dulu, bisa kuliah karena ia tiap hari habis kuliah membantu mencuci piring di kantin sekolah dekat kosnya. Semua berhasil melanjutkan kuliah karena rajin berusaha dan mau bekerja keras. Ingat! Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, melainkan merekalah yang mengubah nasib mereka sendiri. Siapa yang mencari, tentu akan mendapat. Cobalah Ady, pikirkanlah!” begitulah nasihat Muzi.

Ady mengucapkan terima kasih dan berjanji akan berusaha. Ketika Ady pamitan pulang, Muzi menambah pesannya, ”Jangan kalah sebelum berperang. Berjuanglah, Dy, aku doakan semoga kau berhasil.”