Perjuangan Membebaskan Irian Barat


Bentuk perjuangan yang dijalankan pemerintah cenderung menerapkan upaya diplomasi untuk menyelesaikan konfliknya dengan penjajah. Namun, karena watak penjajah yang selalu ingkar janji, maka kesepakatan pun tidak terlaksana. Demikian juga dengan perjuangan diplomasi yang dilakukan bangsa Indonesia untuk membebaskan Irian Barat.

Sesuai isi KMB, Irian Barat akan diserahkan oleh Belanda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS. Namun, pada kenyataannya lebih dari satu tahun pengakuan kedaulatan Indonesia, Belanda tidak kunjung menyerahkan Irian Barat pada Indonesia. Bahkan pada tahun 1952, Belanda memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda. Padahal, sebelumnya Indonesia berupaya melakukan pendekatan bilateral dengan Belanda dalam penyelesaian masalah Irian Barat sejak masa Kabinet Natsir. Akhirnya, Indonesia membawa masalah Irian Barat ke forum PBB pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I dan dilanjutkan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap. Namun upaya ini tidak membawa hasil.

Konfrensi Meja Bundar

Pembebasan Irian Barat merupakan tuntutan nasional yang didukung oleh semua partai politik dan semua golongan. Tuntutan itu didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi, “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ....” Sedangkan Irian Barat adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Oleh karena berbagai upaya diplomasi tidak berhasil, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menempuh sikap keras melalui konfrontasi total terhadap Belanda.

Pada tahun 1956, Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB dan secara otomatis membubarkan Uni Indonesia Belanda. Melalui UU No. 13 Tahun 1956 tanggal 3 Mei 1956, Indonesia menyatakan bahwa Uni Indonesia–Belanda tidak ada. Pada 18 November 1957, diadakan rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta. Rapat tersebut mendorong seluruh rakyat Indonesia untuk mendukung kebijakan yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam upaya merebut Irian Barat.

Para buruh Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda melakukan mogok massal yang diikuti oleh pemboikotan berbagai media massa dan film-film buatan Belanda. Akhirnya pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap berbagai perusahaan Belanda yang ada di Indonesia pada tahun 1957, seperti Bank Escompto, perusahaan Philips dan KLM, serta percetakan de Uni.

Untuk mencegah tindakan anarki dan untuk menampung keinginan rakyat banyak, maka Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Nasution selaku Penguasa Perang Pusat memutuskan untuk mengambil alih semua perusahaan Belanda, dan kemudian menyerahkannya kepada pemerintah. Pada 17 Agustus 1960, Indonesia secara sepihak memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda yang diikuti oleh pemecatan seluruh warga negara Belanda yang bekerja di Indonesia. Kemudian pemerintah Indonesia mengusir semua warga negara Belanda yang tinggal di Indonesia dan memanggil pulang duta besar serta para ekspatriat Indonesia yang ada di Belanda. Menghadapi konfrontasi Indonesia tersebut, ditanggapi Belanda dengan mempersiapkan pembentukan negara Papua serta segala kelengkapannya seperti lagu kebangsaan dan bendera. Untuk menandingi pembentukan negara Papua, pemerintah RI membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibu kota di Soasiu (Tidore).

Usaha merebut Irian Barat yang sebelumnya dilakukan dengan cara diplomasi dan tekanan-tekanan ekonomi, mulai ditingkatkan ke arah perjuangan dengan kekuatan bersenjata. Dalam rangka persiapan suatu kekuatan militer untuk merebut Irian, pemerintah Republik Indonesia mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pembelian senjta itu dilakukan ke negara Moskow, India, Pakistan, Thailand, Filipina, Australia, Selandia baru, Jerman, Prancis, dan Inggris. Mengetahui usaha yang dilakukan oleh Indonesia tersebut, Belanda mulai menyadari bahwa bila Irian Barat tidak diserahkan secara damai kepada Indonesia, maka Indonesia akan membebaskannya dengan kekuatan militer.

Perjuangan Membebaskan Irian Barat & Soeharto

Menghadapi persiapan-persiapan Indonesia itu, Belanda mengajukan protes kepada PBB dengan menuduh Indonesia melakukan agresi, selanjutnya PBB memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dan mengirimkan kapal perangnya ke perairan Irian Barat, di antaranya kapal induk Karel Doorman. Puncak konfrontasi Indonesia terhadap Belanda terjadi saat Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Jogjakarta. 

Adapun isi Trikora adalah sebagai berikut.
  1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial.
  2. Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Untuk melaksanakan Trikora, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/Pangti ABRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan Nomor 1 Tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Baratdi Makassar (Ujung Pandang). Komando Mandala bertugas untuk berikut ini.
  1. Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi-operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Provinsi Irian Barat ke dalam kekuasaan negara Republik Indonesia.
  2. Mengembangkan situasi militer di wilayah Irian Barat: a) sesuai dengan taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi; b) supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di wilayah Provinsi Irian Barat dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas atau didudukkan untuk kekuasaan/pemerintah daerah Republik Indonesia.
Komando Mandala merencanakan operasi-operasi pembebasan Irian Barat dalam tiga fase, yaitu sebagai berikut.
1. Fase Infiltrasi
Fase ini berlangsung sampai akhir 1962. Pada fase ini usaha pembebasan wilayah Irian Barat melibatkan rakyat dalam perjuangan fisik. Perjuangan pembebasan Irian Barat adalah perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Di mana-mana dibentuk kesatuan-kesatuan sukarelawan seperti di kantor-kantor, sekolah-sekolah, organisasi-organisasi, dan sebagainya. Sebagian dari para sukarelawan tersebut bersama-sama dengan ABRI turut serta dalam operasi infiltrasi.
2. Fase Eksploitasi
Fase ini dimulai awal 1963 dengan dilakukan serangan terbuka terhadap lawan untuk menduduki pos-pos pertahanan musuh yang penting.
3. Fase Konsolidasi
Fase ini terjadi awal 1964, di mana mulai ditegakkannya kekuasaan Republik Indonesia di seluruh wilayah Irian Barat. Antara bulan Maret sampai bulan Agustus 1962 oleh Komando Mandala dilakukan serangkaian operasi-operasi pendaratan melalui laut dan penerjunan dari udara di daerah Irian Barat. Operasi-operasi infiltrasi tersebut berhasil mendaratkan pasukan-pasukan ABRI dan sukarelawan di berbagai tempat di Irian Barat. Antara lain Operasi Banteng di Fak-Fak dan Kaimana, Operasi Srigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga dengan sasaran Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke.

Sementara itu mulai disusun suatu rencana serangan terbuka merebut Irian Barat sebagai suatu operasi penentuan yang dinamai Operasi Jayawijaya. Untuk melaksanakan operasi operasi tersebut Angkatan Laut Mandala di bawah pimpinan Kolonel Soedomo membentuk Angkatan Tugas Amphibi 17, terdiri atas tujuh gugus tugas, sedangkan Angkatan Udara membentuk enam kesatuan tempur baru.

Pada mulanya Belanda mencemoohkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut. Mereka mengira, bahwa pasukan Indonesia tidak mungkin dapat masuk ke wilayah Irian. Tetapi setelah ternyata bahwa operasi-operasi infiltrasi dari pihak kita berhasil yang antara lain terbukti dengan jatuhnya Teminabuan ke tangan pasukan Indonesia, maka Belanda bersedia untuk duduk pada meja perundingan guna menyelesaikan sengketa Irian. Dan dunia luar pun yang dulunya mendukung posisi Belanda di forum PBB mulai mengerti bahwa Indonesia tidak main-main.

Sementara itu Pemerintah Kerajaan Belanda sedikit banyak mendapat tekanan dari pihak Amerika Serikat untuk berunding, untuk mencegah terseretnya Uni Sovyet dan Amerika Serikat ke dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik Barat-daya di mana masing-masing pihak memberi bantuan kepada pihak yang lain diantara yang bersengketa, yaitu Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. 

Dengan demikian pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, yang terkenal dengan Perjanjian New York. Adapun isi dari Perjanjian New York adalah sebagai berikut.
  1. Kekuasaan Belanda atas Irian Barat berakhir pada 1 Oktober 1962.
  2. Irian Barat akan berada di bawah perwalian PBB hingga 1 Mei 1963 melalui lembaga UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) yang dibentuk PBB. 
  3. Pada 1 Mei 1963, Irian Barat akan diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
  4. Pemerintah Indonesia wajib mengadakan penentuan pendapat rakyat (pepera) Irian Barat untuk menentukan akan berdiri sendiri atau tetap bergabung dengan Indonesia, pada tahun 1969 di bawah pengawasan PBB.
Perjanjian itu berdasarkan prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Duta Besar Ellsworth Bunker dari Amerika Serikat, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB diminta untuk menjadi penengah. Soal yang terpenting dalam perjanjian itu, ialah mengenai penyerahan pemerintahan di Irian dari pihak Kerajaan Belanda kepada PBB. Untuk kepentingan tersebut dibentuklah United Nations Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang pada gilirannya akan menyerahkan pemerintahan itu kepada Republik Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963. Sedangkan Indonesia menerima kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian sebelum akhir tahun 1969, dengan ketentuan bahwa: kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan menerima hasil-hasilnya.

Selanjutnya untuk menjamin keamanan di wilayah Irian Barat, PBB membentuk pasukan keamanan yang dinamakan United Nations Security Forces (UNSF) di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Said Udin Khan dari Pakistan. Sesuai dengan Persetujuan New York, pada tanggal 1 Mei 1963 kekuasaan pemerintahan atas Irian Barat dari UNTEA diserahkan kepada Indonesia. Dengan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, maka Komando Mandala juga dibubarkan. Operasi terakhir yang dilaksanakan oleh Komando Mandala untuk menyelenggarakan penyerahan kekuasaan pemerintahan Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI adalah Operasi Wisnumurti.

Dari hasil Pepera tahun 1969 itu, Dewan Musyawarah Pepera secara aklamasi memutuskan bahwa Irian Barat tetap ingin bergabung dengan Indonesia. Hasil musyawarah pepera tersebut dilaporkan dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-24 oleh diplomat PBB, Ortiz Sanz yang bertugas di Irian Barat. Kembalinya Irian Barat ke pangkuan pemerintah Republik Indonesia berarti kembali membaiknya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Belanda. Oleh karena itu, pada tahun 1963 itu juga, dilakukan pembukaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta.


0 Response to "Perjuangan Membebaskan Irian Barat"

Post a Comment