Pembentukan Kekuasaan Kolonial dan Imperialisme Belanda di Indonesia


Kolonialisme dan imperialisme ditumbuhkembangkan oleh negara-negara Eropa di wilayah Nusantara sejak terjadi Perang Salib, dan jatuhnya Konstantinopel ke tangan bangsa Turki Usmani yang beragama Islam sehingga orang-orang Eropa, terutama Portugis berusaha untuk mematahkan pedagang-pedagang Islam dalam menguasai perdagangan dari wilayah Nusantara ke wilayah Laut Merah. Mereka tidak kenal kompromi. Setiap berjumpa dengan orang-orang Islam, Portugis selalu berusaha untuk menghancurkannya. Selain dengan para pedagang, Portugis pun menghadapi banyak perlawanan dari masyarakat di Nusantara.  Perlawanan bangsa Indonesia beralasan, karena:
  1. dalam bidang ekonomi, Portugis menjalankan sistem monopoli.
  2. dalam bidang agama, Portugis menyebarkan agama Katolik sebagai salah satu tugasnya karena dendam terhadap agama Islam yang mengalahkannya dalam Perang Salib.
Lukisan Kota Batavia

Muncullah benih kekuasaan Belanda di Indonesia yang berawal dari ekspedisi empat kapal dagang Belanda yang tiba di Teluk Banten pada 1596, dibawah pimpinan Cornelis De Houtman. Ekspedisi Belanda gagal karena rakyat Banten langsung mengusirnya. Ekspedisi kedua Belanda datang dengan ramah, sopan, dan hormat kepada penduduk. Akhirnya, rakyat menerima mereka. Keberhasilan ekspedisi kedua yang dipimpin Jacob Van Neck pada 1598 sesudah mendapatkan keuntungan, rombongan kembali ke negaranya dengan muatan kapal yang penuh rempah-rempah. Berbondong-bondonglah kapal Belanda datang ke wilayah Nusantara. Atas usul Johan Van Olden-Barneveldt, masyarakat Belanda membuat kongsi dagang seperti yang dilakukan Inggris dan Perancis. Sehingga pada 20 Maret 1602, Belanda mendirikan VOC atau perhimpunan perusahaan Hindia Timur.

Adapun tujuan didirikannya VOC adalah:
  1. menghilangkan persaingan yang akan merugikan para pedagang Belanda;
  2. menyatukan tenaga untuk menghadapi saingan dagang dengan bangsa lain; dan
  3. mencari keuntungan untuk biaya perang.
Untuk melaksanakan tujuannya tersebut, VOC oleh pemerintah Belanda diberikan hak Octrooi (hak paten) sebagai berikut:
  1. hak monopoli perdagangan;
  2. hak memiliki angkatan perang, berperang;
  3. hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja atau penguasa; dan
  4. hak mencetak dan mengedarkan uang.
Dengan hak-hak tersebut VOC berkembang pesat. Banyak orang Belanda di Nusantara yang lupa diri. Akhirnya, korupsi dimana-mana. Orang-orang VOC lebih mencari keuntungan pribadi. Akhirnya, di penghujung abad ke-18 VOC bangkrut dan pada 31 Desember 1799 resmi dibubarkan. Ketika VOC mengalami kesulitan moneter, di Eropa terjadi Perang Koalisi (1792 - 1797) yang dimenangkan oleh Perancis. Sedangkan, Belanda berada di pihak yang kalah. Atas kejadian ini, bukan saja negara Belanda yang diambil alih oleh Perancis, tetapi daerah-daerah jajahan milik Belanda pun menjadi milik Perancis, termasuk Indonesia.


Masa Pemerintahan Daendels
Pada 19 Januari 1795, Perancis menduduki Belanda. Raja Willem V terpaksa melarikan diri ke Inggris. Setelah itu, pemerintahan Belanda dipimpin oleh Louis Napoleon, adik dari Napoleon Bonaparte. Bentuk kerajaan Belanda diganti menjadi Republik Bataat, dan pada 1806, Republik Bataat diganti dengan Kerajaan Belanda (Koninrijk Holland). Sejak 1808 Louis Napoleon mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal di Indonesia. Tugas utamanya adalah untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.

Beberapa tindakan Daendels untuk menjalankan tugasnya, antara lain adalah:
  1. membagi Pulau Jawa menjadi sembilan perfektur (keresidenan);
  2. bupati diubah dari penguasa tradisional menjadi aparat pemerintahan;
  3. membangun pabrik senjata di Semarang dan Surabaya;
  4. membangun armada pangkalan tentara di Anyer dan Ujung Kulon;
  5. menarik orang-orang Indonesia untuk dijadikan tentara; dan
  6. membangun jalan raya Anyer sampai Panarukan.
Untuk mendapatkan biaya dalam menjalankan tugasnya, ia menempuh usaha sebagai berikut:
  1. Contigenten, artinya pajak yang harus dibayar rakyat dengan menyerahkan hasil bumi.
  2. Verplichte leverente, artinya kewajiban menjual hasil bumi pada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan.
  3. Preanger stelsel, artinya kewajiban yang dibebankan kepada rakyat untuk menanam kopi.
Tindakan-tindakan tersebut makin menambah kesengsaraan rakyat. Karena rakyat yang menanam, sedangkan hasilnya harus diserahkan kepada Belanda. Akibatnya, rakyat banyak yang meninggal karena kelaparan. Kesengsaraan rakyat yang diakibatkan oleh kekejaman Daendels, akhirnya terdengar juga oleh pemerintah pusat di Belanda. Daensdels kemudian dipanggil kembali serta digantikan oleh Jan Willem Jansen.

Masa Kolonialisme dan Imperialisme Inggris di Nusantara (Masa Pemerintahan Raffles)
Pada 3 Agustus 1811, Angkatan Laut Inggris dibawah pimpinan Lord Minto, berhasil merebut Batavia dan secara tegas meminta Jansen untuk menyerahkan Pulau Jawa. Namun, Jansen menolak. Terjadilah pertempuran antara Inggris dan Belanda yang dimenangkan oleh pihak Inggris. Pada 17 September 1811, Belanda menyerah di Tuntang (Salatiga). Kemudian, diadakanlah perjanjian di tempat yang sama, dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Pulau Jawa diserahkan kepada Inggris. 

Lord Minto selaku Gubernur EIC (East India Company) yang berkedudukan di India mengangkat Thomas Stamford Raffles untuk menjadi penguasa di wilayah pemerintahannya, Raffles menerapkan kebijakan berdasarkan pada asas-asas liberal. Tujuannya adalah menciptakan sistem ekonomi Jawa yang lepas dari tekanan dan paksaan. Pokok-pokok kebijaksanaan sistem pajak tanah pada masa Raffles adalah sebagai berikut:
  1. segala bentuk penyerahan wajib dan kerja paksa dihapuskan, rakyat diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditanamnya;
  2. peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai gantinya mereka dijadikan aparat negara yang bertanggung jawab kepada pemerintah; dan
  3. pemerintah Inggris adalah pemilik tanah. 
Setiap petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tanah dan diwajibkan untuk membayar pajak sebagai uang sewa. Akan tetapi, kenyataannya tujuan baik tersebut tidak bisa dilaksanakan, karena sistem tanam pajak tanah Raffles tersebut menemui kegagalan yang disebabkan oleh hal-hal berikut ini:
  1. tidak adanya dukungan bupati yang telah dihapuskan hak-haknya sebagai pemungut pajak;
  2. rakyat pedesaan belum mengenal sistem ekonomi uang;
  3. kesulitan untuk menentukan luas tanah dan tingkat kesuburannya; dan
  4. kesulitan untuk menentukan besarnya pajak bagi setiap penyewa tanah.
Raffles kemudian berupaya untuk memperbaikinya. Namun, di Eropa telah terjadi perubahan karena Perancis kembali kalah dalam Perang Koalisi. Akhirnya, Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London (1814). Isi dari perjanjian tersebut adalah Inggris memberikan kembali hak untuk mendapatkan kekuasaan atas Nusantara kepada Belanda. Sebenarnya, Raffles tidak setuju dengan kebijakan tersebut karena semasa Belanda berkuasa rakyat nusantara keadaannya sangat menderita. Raffles meletakkan kekuasaannya sebelum kekuasaan diserahkan kepada Belanda. Penyerahan kepada Belanda dilakukan oleh penggantinya, yaitu John Fendall.

Karya-karya Raffles untuk Nusantara, antara lain adalah:
  1. Buku History of Java.
  2. Perintisan pembuatan Kebun Raya Bogor.
  3. Penemuan bunga Rafflesia arnoldi.
Masa Penjajahan Hindia Belanda
Sejak perjanjian ditandatangani, kekuasaan atas Hindia Belanda jatuh ke tangan pemerintah kolonial Belanda. Penguasa baru ini kemudian menerapkan berbagai kebijakan yang intinya adalah monopoli, pemerasan, dan pengerahan tenaga rakyat. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:
a.  Penjualan Tanah Partikelir
Tanah partikelir (particuliere landerijn) sudah ada sejak zaman VOC hingga awal abad ke-19. Munculnya tanah partikelir berkaitan dengan praktik penjualan atau penyewaan tanah yang dilakukan oleh orang-orang Belanda dan pemilik tanah jabatan kepada masyarakat swasta. Tanah partikelir tersebut tersebar di daerah pedalaman, antara lain: di sekitar Batavia dan Bogor, Banten, Karawang, Cirebon, Semarang, Blora, Lasam, Tuban, dan Surabaya. Para pemilik tanah partikelir biasa disebut sebagai tuan tanah. Mereka terdiri dari orangorang Belanda, Cina, dan Arab. Kedudukan mereka sangat berkuasa seperti layaknya kepala desa atau bupati. Misalnya, apabila mereka membeli atau menyewa tanah yang luas, mereka tidak hanya sebagai pemilik tanahnya, melainkan dengan segenap penduduk yang tinggal di tanah (daerah) tersebut. Semua penduduk harus tunduk kepada aturan yang diberlakukan para tuan tanah tersebut. Aturan-aturan tersebut, misalnya:
  1. menarik hasil panen secara langsung (10% dari hasil panen);
  2. menarik uang sewa rumah, bengkel, warung, dan lain-lain; dan
  3. mengerahkan penduduk untuk kerja rodi.
Untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut, pemerintah kolonial mengangkat pegawai administrasi, pengawas, dan pemungut pajak. Dengan kondisi aturan seperti itu, di tanah partikelir tidak jauh bedanya dengan penerapan perbudakan terhadap rakyat dimana hasil panen diambil, harus bayar sewa rumah, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan kerja rodi, akhirnya rakyat hidup dengan sengsara. Kelaparan terjadi di mana-mana, rakyat yang meninggal bukan lagi dengan hitungan hari, tetapi tiap jam karena penyakit dan kelaparan, bayi banyak yang meninggal karena air susu kering karena ibunya tidak makan, dan banyak penderitaan lainnya. Saat itu, rakyat betul-betul tidak dapat merasakan artinya hidup di buminya sendiri.

Tanah partikelir dilarang dan dibubarkan pada 1817 pada saat pemerintah kolonial dipimpin oleh Van Der Capallen dengan alasan karena hasil-hasil produksi (pertanian) banyak yang jatuh ke tangan tuan tanah sehingga pemasukan keuangan Belanda berkurang.

b.  Sistem Tanam Paksa
Setelah menerima kembali kekuasaan atas wilayah Hindia Belanda dari Inggris, Belanda kembali dililit persoalan keuangan yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut ini:
  1. pengeluaran biaya perang, terutama Perang Diponegoro dan Perang Padri;
  2. di negeri Belanda terjadi pemberontakan Belgia yang ingin memisahkan diri; dan
  3. badan usaha dagang Belanda gagal menghasilkan keuntungan bagi Belanda.
Guna menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan, Gubernur Jenderal Van Den Bosh menerapkan politik konservatif dengan cara menerapkan sistem tanam paksa (Cultuur Stelsel). Sistem ini diharapkan akan menggairahkan kembali keuangan Belanda, dan dengan sistem ini Belanda mengharapkan dapat mengumpulkan sejumlah tanaman yang akan dipasarkan ke Eropa dan Amerika.

Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa tertuang dalam lembaran negara (staatbled) Nomor 22 Tahun 1834. Aturan-aturan tersebut, di antaranya adalah:
  1. penduduk harus menyerahkan · bagian tanahnya untuk ditanami tanaman perdagangan; tanah tersebut bebas pajak;
  2. penduduk yang tidak memiliki tanah harus bekerja di perkebunan milik Belanda;
  3. waktu untuk tanam paksa tidak boleh melebihi waktu untuk tanam padi atau kurang lebih tiga bulan;
  4. kegagalan panen ditanggung pemerintah; dan
  5. pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada kepala desa.
Namun, pada pelaksanaannya tanam paksa menyengsarakan rakyat. Hal ini dikarenakan adanya berbagai penyimpangan yang muncul selama pelaksanaan tanam paksa. Penyimpangan tersebut, antara lain:
  1. rakyat lebih banyak mencurahkan waktu dan tenaganya untuk tanam paksa;
  2. jatah tanah untuk tanam paksa lebih dari · luas tanah yang dimilikinya;
  3. lahan untuk tanam paksa tetap kena pajak;
  4. kelebihan panen tidak dikembalikan kepada rakyat; dan
  5. kegagalan panen tetap menjadi tanggungan rakyat.
Sistem tanam paksa berakibat pada Belanda sendiri maupun rakyat Indonesia. Berikut ini adalah akibatnya.
1) Bagi Belanda, yaitu:
  • teratasinya krisis keuangan negara Belanda;
  • pemerintahan Belanda mengalami surplus (kelebihan target anggaran) keuangan; dan
  • membangun pusat-pusat perindustrian.
2)  Bagi rakyat Indonesia, yaitu:
  • mengalami kemiskinan dan kemelaratan, rakyat banyak yang mati karena kelaparan dan penyakit karena hasil panen yang dikerjakan dengan paksa diambil semua oleh penjajah Belanda;
  • banyak penduduk melarikan diri meninggalkan desa; dan
  • jumlah penduduk Jawa berkurang, karena selain meninggal mereka juga banyak yang diculik (ditangkap) dan dibawa ke pulau lain untuk kerja paksa.
Itulah sebagian kecil penderitaan yang dialami bangsa kita saat dijajah oleh pemerintahan Belanda dan yang dilakukan oleh bangsa kita sendiri yang menjadi bupati dan kepala desa karena ingin mendapatkan pujian dari penjajah. Mereka senantiasa berlomba-lomba menyerahkan hasil tanaman rakyat sebanyak-banyaknya. Mereka tidak sadar saudara sebangsanya menangis karena kelaparan, meninggal karena tidak makan, anak menjadi yatim piatu karena bapaknya dihukum dan disiksa oleh Belanda. Akhirnya, terbongkar pada 1850 di negeri Belanda tentang penderitaan rakyat di Pulau Jawa yang mengalami kelaparan dan kematian akibat adanya sistem tanam paksa. Kaum konservatif mendapat reaksi keras dari kaum Liberal dan kaum Humanis, tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut:
1)  Douwes Dekker (1820 - 1887)
Beliau mengungkapkan kritik terhadap Belanda lewat bukunya yang berjudul "Max Havelar". Di dalam bukunya ia menggunakan nama samaran Multatuli, yang berarti "saya yang menderita". Ia membeberkan secara terang-terangan penyimpangan sistem tanam paksa dan penderitaan rakyat Lebak (Banten) akibat penindasan petugas tanam paksa.

2)  Baron Van Houvell (1812 - 1879)
Ia adalah seorang pendeta. Setelah kembali ke negerinya, ia menjadi anggota parlemen, kemudian ia bersama kelompoknya berupaya memperjuangkan nasib rakyat tanah jajahan. Akhirnya, muncullah kecaman keras supaya pemerintah menghapuskan sistem tanam paksa. Setelah 40 tahun berlangsung di Indonesia, akhirnya tanam paksa dihapuskan (1830 - 1870).

c. Undang-Undang Tahun 1870 dan Pengaruhnya terhadap
Penanaman Modal Asing
Pelaksanaan sistem tanam paksa memang telah melahirkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Akan tetapi, dengan munculnya buku "Max Havelar" telah menggugah masyarakat Belanda untuk menentang perilaku bangsanya yang kejam. Di parlemen Frans De Putte, De Wall dan Thorbecke yang berasal dari kaum liberal menyampaikan gagasan perlunya menetapkan prinsip liberalisme ekonomi di tanah jajahan.

Dalam menerapkan liberalisme ekonomi, kaum liberal menghadapi kendala masalah kepemilikan tanah. Mereka tidak membenarkan pemerintah dengan seenaknya mengambil alih tanah rakyat. Apabila hal ini dilakukan, maka asas liberalisme yang mendambakan kebebasan dan penghormatan hak asasi manusia telah diinjak-injak sebagai perwujudan dari kemenangan kaum liberal.

Pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria Tahun 1870. Dengan undang-undang tersebut pemerintah mulai membuka kesempatan dengan menjalankan politik "pintu terbuka" artinya pemerintah membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada para pengusaha swasta asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Adapun tujuan dikeluarkannya undang-undang tersebut adalah:
  1. melindungi para petani agar tidak kehilangan hak milik atas tanahnya dari penguasa asing;
  2. memberi kesempatan pada para pengusaha asing untuk menyewa tanah penduduk untuk usaha perkebunan; dan
  3. membuka lapangan kerja bagi para penduduk yang tidak memiliki tanah.
Akibat dari pelaksanaan politik pintu terbuka bagi rakyat Indonesia adalah:
  1. tanam paksa dihapuskan;
  2. rakyat mulai mengenal arti pentingnya uang;
  3. usaha kerajinan rakyat mulai terdesak oleh barang impor;
  4. pemerintah Hindia Belanda mulai membangun prasarana; dan
  5. Hindia Belanda menjadi penghasil barang perkebunan yang penting.
Sejak pemberlakuan UU Agraria terjadi kemerosotan kemakmuran di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena adanya kerja rodi, pemungutan pajak yang memberatkan, krisis pada perkebunan-perkebunan, dan peningkatan jumlah penduduk, terutama di luar Pulau Jawa. Rakyat menderita karena adanya Koeli Ordonantie, yang merupakan UU yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan pengusaha. Dalam UU tersebut dituangkan poenale santie, yang artinya ancaman hukuman kepada para pekerja yang melarikan diri dengan cara menangkap, menyiksa, dan mengembalikannya ke tempat kerja. Itulah namanya penjajah, pada awalnya memang ada perubahan agak longgar dari tanam paksa, tetapi nafsu imperialisme dan kolonialisme untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya telah mengubah sifat kemanusiaan. Kaum penjajah menjadi binatang buas yang siap menerkam rakyat kita yang miskin dan kelaparan. UU Agraria dihapuskan pada 1890 oleh pemerintah Belanda setelah 30 tahun berlangsung dan telah banyak berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia.



0 Response to "Pembentukan Kekuasaan Kolonial dan Imperialisme Belanda di Indonesia"

Post a Comment