Hari-Hari Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945


Peristiwa kehancuran Jepang karena bom atom Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki serta menyerahnya Jepang tanpa syarat pada 15 Agustus 1945, tidak banyak diketahui oleh rakyat Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena:
  1. Jalur komunikasi dengan luar negeri diputus atau dilarang oleh Jepang. 
  2. Pihak dinas propaganda Jepang selalu mengetengahkan berita tentang kemenangan Jepang atas Sekutu. 


Akan tetapi, ada tokoh pejuang yang mengetahui berita kekalahan Jepang tersebut, yaitu Sultan Syahrir. Beliau mengetahuinya melalui berita radio BBC di Bandung. Kemudian, berita tersebut disampaikan kepada tiga pimpinan bangsa, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Dr. Radjiman W yang baru saja tiba dari Dallat, Saigon (Vietnam). Akhirnya, Moh. Hatta mengusulkan supaya pada 16 Agustus 1945 pukul 10.00 PPKI mengadakan sidang guna menentukan kemerdekaan Indonesia.

Sementara itu, para pemuda berunding dibawah pimpinan Chairul Saleh dan sepakat untuk mendesak Ir. Soekarno dan Moh. Hatta agar segera menyatakan kemerdekaan Indonesia yang merupakan hak dan masalah rakyat Indonesia tanpa harus tergantung dari bangsa atau negara lain.

Ada sedikit perbedaan paham antara golongan muda dan golongan tua. Golongan tua (Ir. Soekarno dan Moh. Hatta) berpendapat bahwa kemerdekaan akan dilaksanakan oleh PPKI dan mengingatkan para pemuda untuk memikirkan resiko yang terjadi apabila kemerdekaan dilaksanakan tanpa terorganisir dan melalui permusyawaratan, tetapi kemerdekaan harus dilaksanakan atau diatur dengan secermat mungkin.

Menjelang16 Agustus 1945, tepat pukul 24.00 WIB di Asrama Baperpi, Cikini 71 Jakarta, para pemuda berkumpul yang dihadiri oleh Sukarni, Jusuf Kunto, dr. Mawardi, Sudanco Singgih, dan Chairul Saleh. Mereka sepakat untuk mengasingkan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta keluar dari Jakarta dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang. Tepat pukul 04.00 WIB, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta dibawa oleh sekelompok pemuda menuju Rengasdengklok, sebuah kota yang terletak di sebelah timur Jakarta. Dipilihnya kota tersebut karena letaknya strategis dan dapat dengan mudah untuk mengawasi gerak-gerik tentara Jepang atau siapa saja yang datang ke Rengasdengklok.

Soekarno-Hatta berada sehari penuh di Rengasdengklok. Upaya pemuda untuk menekan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak berhasil. Karena wibawa dan kharismatis keduanya, para pemuda merasa segan untuk melakukan penekanan. Akhirnya, Ir. Soekarno mengadakan pembicaraan dengan Shodanco Singgih. Hasil pembicaraan tersebut adalah Ir. Soekarno bersedia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dengan segera setelah kembali ke Jakarta. Dengan adanya rencana tersebut, pada tengah hari, Singgih cepat kembali ke Jakarta untuk menyampaikan rencana proklamasi kepada rekan-rekannya dan para pemimpin yang ada di Jakarta.

Di Jakarta, Ahmad Subarjo (golongan tua) telah sepakat dengan golongan muda yang diwakili Wikana bahwa proklamasi kemerdekaan harus dilaksanakan di Jakarta. Untuk keperluan tersebut, Jusuf Kunto mengantarkan Ahmad Subarjo dan sekretaris pribadinya pergi ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno-Hatta. Rombongan dari Rengasdengklok tiba di Jakarta tepat pukul 17.40 WIB dan langsung menuju rumah Laksamana Tadeshi Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1, setelah sebelumnya mereka singgah di rumah masing-masing.

Mengapa menggunakan rumah Laksamana Tadashi Maeda? Karena rumah tersebut dianggap paling aman, dan Laksamana Maeda memberi jaminan akan keamanan dalam merumuskan naskah proklamasi tersebut. Sebelum pembicaraan dimulai, Soekarno-Hatta menemui Mayor Jenderal Nishimura untuk dimintai pendapatnya mengenai proklamasi Kemerdekaan. Mereka ditemani oleh Laksamana Takashi Maeda, Shigetada Nishijima, Tomegoro Yoshizumi, dan Miyoshi sebagai penerjemah. Soekarno Hatta saat itu berharap agar Jepang tidak menghalangi pelaksanaan proklamasi kemerdekaan yang akan dilakukan oleh rakyat Indonesia sendiri.

Setelah pertemuan itu, Soekarno-Hatta kembali ke rumah Laksamana Tadashi Maeda. Di ruang makan rumah Tadashi Maeda, naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dirumuskan. Mioshi bersama tiga orang tokoh pemuda, yaitu Sukarni, Sijdiro, dan BM Diah, menyaksikan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Ahmad Subarjo membahas rumusan naskah proklamasi. Ir. Soekarno menulis konsep kemerdekaan, sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Ahmad Subarjo menyumbangkan pikiran lisan. Sebagai hasil pembicaraan mereka bertiga diperoleh rumusan tangan Ir. Soekarno yang berbunyi sebagai berikut:

Rumusan teks proklamasi tersebut isinya padat dan jelas, terdiri atas dua kalimat. Kalimat pertama berisi pernyataan kemerdekaan dan kalimat kedua berisi langkah-langkah pelaksanaan oleh bangsa Indonesia. 

Menjelang subuh, rumusan naskah proklamasi disampaikan kepada yang hadir, termasuk yang menunggu di serambi depan. Semuanya menyatakan setuju. Kemudian, Ir. Soekarno menyarankan agar semua yang hadir ikut menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Saran tersebut dibenarkan oleh Drs. Muh Hatta, tetapi Sukarni mewakili golongan muda menentang usulan tersebut. Ia mengusulkan atas nama bangsa Indonesia. Ternyata, usulan Sukarni tersebut disetujui oleh para hadirin. Peristiwa tersebut terjadi pukul 04.00 pada 17 Agustus 1945. Kemudian, Ir. Soekarno menyuruh Sayuti Malik untuk mengetik naskah itu berdasarkan naskah tulisan tangannya dengan sedikit perubahan yang telah disetujui, antara lain:

Kata "Tempoh" menjadi "Tempo" 

Kalimat wakil-wakil bangsa Indoneia menjadi atas nama bangsa Indonesia. 

Tulisan "Djakarta, 17-8-05" menjadi "Djakarta, Hari 17 Boelan 8 Tahoen 1945". Angka tahun 05 singkatan angka tahun 2605 menurut kalender Jepang. 

Jumat, 17 Agustus 1945, suatu cita-cita yang telah dirintis puluhan tahun, bahkan ratusan tahun yang silam, hari itu, semua cita-cita bangsa akan diwujudkan dengan kebulatan tekad untuk merdeka.

Keluar dari kediaman Laksamana Tadashi Maeda, mereka telah sepakat bahwa naskah proklamasi akan dibacakan di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 (rumah kediaman Ir. Soekarno). Hal ini dilakukan untuk menghindari bentrokan dengan tentara Jepang. Pagi hari, di rumah kediaman Ir. Soekarno telah dipadati oleh massa pemuda yang berbaris teratur dan tertib, suasana hening mencekam. Untuk menjaga keamanan dalam pembacaan naskah proklamasi, dr. Muwardi dan Sudandon Arifin Abdurrahman bertindak selaku koordinator keamanan.

Tepat pukul 10.00 telah berdatangan para tokoh bangsa yang akan mengikuti upacara pembacaan naskah proklamasi, di antaranya adalah Dr. Buntaran Martoatmodjo, Mr. AA. Maramis, Mr. Latuharhary, Abikusmo Tjokrosuyoso, Anwar Tjokroaminoto Harsono Tjokroaminoto, Otto Iskandardinata, Ki Hajar Dewantara, Sam Ratulangi, KH. Mas Mansyur, Sayuti Malik, Pandu Kartawiguna, M. Tabrani, Dr. Muwardi, dan AG. Pringgodigdo.

Sebelumnya, Suhud telah menyiapkan tiang bendera dari bambu yang diambil di belakang rumah Pak Parno, kemudian diberi tali untuk mengibarkan bendera Merah Putih yang telah disiapkan oleh Ibu Fatmawati hasil jahitan tangannya sendiri. Sekarang bendera tersebut dikenal sebagai bendera pusaka dan disimpan di Museum Tugu Monas, Jakarta.

Lima menit sebelum acara dimulai, Mohamad Hatta datang dan langsung masuk rumah menemui Soekarno. Setelah semuanya siap, Cudanco Latief Hendraningrat mengetuk pintu kamar Soekarno dan setelah pintu terbuka beliau langsung berkata "Apa bung Karno sudah siap?" Kedua pemimpin bangsa (Soekarno-Hatta) mengangguk, lalu keluar bersama-sama, diiringi oleh Ibu Fatmawati Soekarno.

Upacara berlangsung tanpa protokol, dan Cudanco Latief mempersilahkan Ir. Soekarno mengucapkan pidato. Tepat pukul 10.00 WIB atau pukul 10.30 waktu Jawa dan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, ketika Ir. Soekarno berpidato dan pada saat teks proklamasi dibacakan, hadirin semua hening, khidmat, diliputi juga rasa sedih.

Setelah pidato Ir. Soekarno selesai, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. S Suhud mengambil bendera yang telah disediakan, kemudian mengikatkannya pada tali dibantu oleh Cudanco Latief Hendradiningrat. Suasana berubah, yang tadinya hening kini semarak penuh semangat berdiri tegap sambil menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Setelah bendera selesai dinaikkan, dilanjutkan dengan sambutan Walikota Suwirjo dan Dr. Muwardi.

Setelah selesai, masing-masing peserta meninggalkan tempat upacara dan kembali ke tempat masing-masing, kecuali para tokoh bangsa berkumpul untuk membicarakan langkah selanjutnya. Pemerintah Jepang marah besar atas kejadian tersebut. Mereka memerintahkan agar proklamasi dicabut kembali. Akan tetapi, rakyat tidak takut pada ancaman Jepang. Hari itu juga atas usaha para pemuda, berita proklamasi menyebar ke seluruh Jakarta, kemudian ke seluruh Indonesia, bahkan dunia pun mengetahui tentang kemerdekaan Indonesia melalui siaran kantor berita DOMEI, yaitu kantor berita Jepang yang berhasil dikuasai oleh pemuda Indonesia.

Penyebaran berita proklamasi ke seluruh wilayah pelosok tanah air dilakukan melalui siaran radio. Rakyat Indonesia memberikan sambutan yang luar biasa. Selain melalui siaran radio, surat-surat selebaran berita proklamasi juga dibawa oleh para utusan tokoh-tokoh daerah yang sedang berada di Jakarta mengikuti sidang PPKI dapat menyaksikan langsung peristiwa bersejarah tersebut, di antaranya Gubernur Sumatra, Gubernur Sulawesi, Gubernur Nusa Tenggara, dan Kalimantan, dimana mereka ke daerahnya masing-masing disambut meriah warganya dengan teriakan merdeka. Akan tetapi, karena adanya keterbatasan alat-alat komunikasi, berita proklamasi tidak serentak dapat diketahui oleh tiap-tiap daerah di Indonesia, misalnya saja di Medan, berita proklamasi baru dapat disampaikan secara resmi pada 6 Oktober 1945.

Untuk menyambut proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, rakyat Jakarta mendirikan van aksi. Melalui van aksi inilah diprakarsai rapat raksasa di Lapangan Ikada, Jakarta. Walaupun pimpinan tentara Jepang melarang rapat tersebut, tetapi rakyat bersemangat untuk membanjiri Lapangan Ikada. Dalam rapat tersebut Ir. Soekarno datang dan memberikan pidato singkat.

Beliau meminta kepada rakyat supaya memberikan kepercayaan kepada pemerintah Republik Indonesia yang baru terbentuk dengan jalan mematuhi perintah-perintahnya. Pada 19 September 1945, di Surabaya terjadi Insiden Bendera di Hotel "Yamato" antara tentara Belanda yang merupakan bekas tawanan Jepang masuk dan menduduki hotel tersebut, kemudian dengan sengaja mengibarkan Bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) pada puncak hotel. Tindakan tersebut menimbulkan amarah rakyat, yang kemudian menyerbu hotel dan menurunkan bendera tersebut, lalu merobek warna birunya, kemudian warna merah-putihnya dikibarkan kembali.

Di Yogyakarta, pada 5 September 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan bahwa Kesultanan Ngayogyakarto merupakan salah satu bagian Daerah Istimewa dalam negara RI setelah ada pernyataan tersebut, para pegawai keraton mengadakan aksi mogok dan menuntut agar Jepang menyerahkan semua instansinya kepada orang-orang Indonesia.

Di Bandung terjadi bentrokan antara pemuda dan tentara Jepang ketika para pemuda merebut pangkalan udara Andir dan pabrik senjata ACW pada 9 Oktober 1945. Di Kutaraja (Kota Aceh) pada 6 Oktober 1945 pemuda beserta tokoh masyarakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Mereka mengibarkan bendera Merah Putih dan mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang.

Di Sulawesi Utara, usaha-usaha untuk menegakkan kedaulatan RI dilakukan terutama setelah wilayah tersebut dikuasai oleh NICA. Pada 14 Februari 1946, pemuda Indonesia yang masuk anggota KNIL (Tentara Kerajaan Belanda) yang tergabung dalam PPI (Pasukan Pemuda Indonesia) mengadakan gerakan di tangsi hitam dan tangsi putih di Telung, Menado dan para pemuda juga menguasai markas Belanda di Tomohon dan Tondano.


0 Response to "Hari-Hari Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945"

Post a Comment