Legenda Pasirdalem


Matahari telah bersembunyi di balik bukit. Cahayanya yang memerah lembayung semburat di langit. Udara panas yang sejak tengah hari menyengat, kini telah berubah membawa kesejukan. Angin yang semilir membawa kesegaran.

Konon di sebuah perbukitan Sawal, suatu rombongan berbusana kerajaan serba mewah dengan segala peralatan berburu tengah berjalan menuruni lembah, berjalan menyusuri aliran sungai. Sejuknya udara, semilirnya angin belum mampu menghilangkan panas di badan. Belum mampu menghapuskan keringat yang berleleran. Hal itu wajar karena rombongan ini telah berjam-jam turun naik bukit disiram panasnya cahaya surya siang. Lembah dan jurang dituruni. Hutan belantara telah dirambah. Mereka menyusuri sungai Citanduy yang berkelok-kelok. Air sungai Citanduy tak mampu menghibur hati yang gundah. Tibalah mereka di muara sungai Cigede.


”Sang Prabu, tidakkah ada keinginan Sang Prabu untuk beristirahat barang sejenak?” Sang Patih memberanikan diri bersembah dan memohon dalam wajah yang kepucatan. Sebenarnyalah permohonan itu diucapkan terlebih untuk dirinya sendiri. Sebagai patih yang telah lama mengabdi selama puluhan tahun, dengan tenaganya yang tidak lagi utuh, tidak berani terus terang memohon pada rajanya. Ia tahu Sang Prabu masih sangat muda. Tegap, masih bertenaga penuh. Berbeda dengan dirinya yang kekuatan tubuhnya telah digerogoti usia.

Laki-laki yang dipanggil Sang Prabu adalah Raja Diparanggabuana Haryamangunbumi, sang raja perkasa dari kerajaan Galuh di Banagara. Sebagai seorang muda yang perkasa, yang selalu ingin agar tubuhnya tetap segar dan tegap, berburu menjadi kegemarannya. Bukan daging buruan yang dicari, melainkan perjalanan panjang penuh bahaya, perjalanan panjang yang penuh melelahkan, yang mampu menempa tubuh dan meneguhkan semangat. Itulah yang menjadi tujuan utama. Ia menyadari bahwa sebagai raja sekaligus sebagai panglima ia harus selalu menjaga kebugaran tubuhnya.

Sang Prabu arif. Ia memahami apa yang tersembunyi di balik pertanyaan Sang Patihnya yang setia, namun usianya telah lanjut itu.

”Baiklah, Patih, kita beristirahat. Perintahkan para pengiring berhenti.” Betapa gembira hati sang Patih. Betapa riang para pengiring dan punggawa. Sudah lama sebenarnya kesempatan beristirahat dinanti-nanti. Tanpa menunggu komando mereka berhenti. Duduk bersandar pohon mengipasi tubuh. Memijit-mijit kaki. Menyeka keringat. Sebagian rombongan membasahi tubuh dengan menjeburkan diri ke sungai. Bekal pun dibuka, disantap beramai-ramai. Betapa nikmat rasanya. Setelah hampir seharian perut menahan lapar dan haus, makan dan minum serasa tak ada yang menandingi nikmatnya. Setelah menikmati istirahat, setelah pulih tenaganya, sang Patih berdatang sembah kepada sang Prabu. ”Perkenankan hamba mendahului Gusti mencari jalan perburuan. Silakan Sang Prabu bercengkerama melepas lelah.”

Demikian sang Patih ditemani seekor anjing yang setia meninggalkan rombongan menuju ke selatan. Jalan setapak penuh belukar dilaluinya tanpa keluh kesah. Duri dan ranting pepohonan yang menggores lengan tak dihiraukan. Sang Patih terus berjalan ke selatan. Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah kaki gunung Sawal. Konon di situ banyak terdapat landak, binatang buruan yang sangat disenangi Sang Prabu Diparanggabuana Haryamangunbumi.

Mengendus-ngendus anjing mencium bau landak di kejahuan. Berlari-lari kecil mempertajam penciumannya anjing itu menyisir semak. Sang Patih mengikutinya penuh dengan kewaspadaan dengan tombak di tangan siap dilemparkan. Benar juga. Di balik seonggok ranting kayu terlihat seekor landak dengan bulunya mekar seperti bunga. Mendengar anjing mendengus, landak segera berlari menuju lubang persembunyiannya menyelamatkan diri. Lubang itu kecil kelihatannya, terlindung daun-daun dan ranting. Bagi landak yang sudah biasa keluar masuk, sama sekali ia tidak mendapat kesulitan. Segeralah landak itu hilang ditelan kekelaman dalam lubang yang serupa sebuah gua layaknya. Dari kejauhan sang Patih mengawasi gerak langkah landak. Anjing kesayangan sang Patih ikut pula lenyap dari pandangan Sang Patih. Rupanya anjing itu memburu landak masuk ke dalam lubang perlindungan.

Sejenak sang Patih tertegun. Akankah ia mengikuti kedua binatang itu masuk pula ke dalam lubang? Ia ragu dan bimbang. Bagaimana bila sang Prabu mencarinya? Akankah Sang Prabu menemukan jalan masuk lubang itu? Apa pula yang terdapat dalam lubang itu, kecuali landak dan anjingnya? Lagi pula kalau ia masuk ke dalam lubang itu, apakah ia yakin menemukan jalan keluar? Dalam keadaan ragu ia memutuskan kembali ke rombongan untuk melaporkan apa yang baru saja dilihatnya.

”Tidak sia-sialah kiranya perjalanan kita, Tuanku. Hamba telah melihat sendiri landak buruan masuk ke dalam lubang persembunyian. Anjing Hamba yang setia masih berada di dalam lubang itu mengejarnya. Apakah harus Hamba kejar masuk ke dalam lubang persembunyian landak itu?”

Begitu sang Patih melapor dengan bangga seakan ia telah berjasa menangkap binatang buruannya, betapa gembira sang Prabu mendengar ihwal laporan sang Patih kesayangannya. Segeralah sang Prabu berangkat diiringi sang Patih beserta rombongan pengiringnya. Sesampainya ke lubang perlindungan, tanpa dapat dicegah sang Prabu segera masuk mengejar binatang buruannya. Sebenarnya sang Patih bersikeras hendak menemaninya masuk ke dalam lubang. Namun sang Prabu menolaknya. Hanya sebuah pesan yang sempat ia ucapkan kepada sang Patih dan pengiringnya.

”Hai, Patih kesayangan! Hai, para pengiring setia! Dengarlah! Aku sendiri yang akan masuk ke lubang ini. Aku sendiri yang akan menangkap landak buruan yang telah membawa kita semua ke tempat ini. Aku akan masuk seorang diri. Tunggulah di luar. Yang Mahakuasa akan melindungiku. Hanya saja bila aku tidak keluar lagi, hendaklah kau beri nama tempat ini Pasirdalem.” Segera sesudah itu, sang Prabu masuk ke dalam lubang perlindungan. Lenyap ditelan kekelaman.

Lama sang Patih beserta rombongan pengiring menunggu di luar dengan sabar. Sementara itu, senja telah datang. Hari telah menjadi gelap. Rasa was-was segera menyelimuti hati mereka manakala sang Prabu yang ditunggu-tunggu tidak pula muncul. Mereka tidak berani menyusul masuk ke dalam lubang. Satu jam, dua jam mereka menanti. Sehari dua hari mereka menunggu. Yang dinanti tetap tak kunjung tiba. Isak tangis mulai terdengar. Kesedihan hati menyelimuti mereka.

Apa boleh buat. Kehendak Yang Mahakuasa tidak dapat ditolak. Mereka dengan terpaksa meninggalkan sang Prabu yang sangat dicintainya, sendiri di dalam lubang. Apa yang terjadi di sana, wallahu alam. Sesuai dengan pesan sang Prabu, tempat itu akhirnya diberi nama Pasirdalem.