Kisah Cinta Bendurana dan Landorundun




Landorundun adalah seorang gadis yang cantik, molek, dan panjang rambutnya. Ayahnya bernama Solokang dari Rongkong dan ibunya bernama Lambe’Susu dari Sesean. Pada suatu hari Landorundun pergi mandi di sungai. Sehabis mandi ia lalu bersisir dan rambutnya tercabut sehelai. Rambut itu lalu digulungnya pada sebuah sisir yang terbuat dari emas. Gulungan rambut ini diletakkan di atas batu, lalu tiba-tiba angin puting beliung datang meniupnya dan jatuh ke air lalu hanyut ke muara sungai dan sampai di tengah laut. Ketika benda ini berada di tengah laut ia menyuruh anak buah pergi mengambilnya.




Orang yang disuruh pergi mengambil benda itu tidak ada satu pun yang berhasil karena selalu kembali dengan keadaan cacat. Orang pertama pergi mengambilnya, kembali dalam keadaan lumpuh, orang kedua hilang kakinya sebelah, orang ketiga kembali dalam keadaan bungkuk, orang yang keempat hilang telinganya, dan yang terakhir kembali dalam keadaan buta.

Ketika Bendurana menyaksikan kejadian ini, ia sendiri yang langsung pergi mengambil benda itu di tengah laut. Ia berhasil mengambilnya. Kaki dan kukunya pun tak basah kena air. Benda itu ternyata sisir emas yang dibebat dengan rambut yang sangat panjang. Bendurana melilitkan rambut itu ditangannya dan setelah sampai pada lilitan yang ketujuh sudah mencapai tujuh puluh depa, seratus jengkal panjangnya. Bendurana sangat heran melihat kejadian itu dan berkatalah ia dalam hatinya. ”Dari mana gerangan asalnya rambut ini.” Ia memikirkan kejadian ini sambil menengadah ke langit. Tiba-tiba datanglah serombongan burung terbang di udara dan seekor di antaranya berkata.

Saya melihat dengan pasti
Di sana di hulu sungai
Sumber asalnya air
Gumpalan timbunan busa air

Setelah burung layang-layang itu berkata demikian, kawanan burung itu terbang terus mengikuti aliran sungai mulai dari muara sampai ke Tana Toraja dan tiba di daerah Malangngo’. Kecamatan Rantepao. Ke mana arah burung layang-layang itu terbang selalu diikuti pula oleh perahu Bendurana. Ketika tiba di daerah Malangngo’, Bendurana belok di persimpangan (pertemuan sungai) arah ke sungai Bolu (Kecamatan Rantepao) karena tersesat. Burung mengetahui kejadian itu lalu ia berkata.

Sesat, sudah sesatlah perahuku
Salah jalan, salah arahlah dia
Mundur, mundurlah kembali

Benarkanlah arah dan tujuannya
Di sana di hulu sungai
Asal mulanya busa air
Di atas di sumur batu

Bendurana mendengar seruan burung layang-layang di udara itu, lalu ia mengubah arah perahunya menuju ke utara, yaitu Minanga (Kecamatan Tikala) lalu membuang sauh di dekat batu yang bernama Batu Sangkinan Lembang artinya batu tempat menambat perahu. Batu ini sampai sekarang tetap terkenal dan bersejarah.

Bendurana turun dari perahunya dan menanam pohon mangga. Pohon mangga ini rupanya agak lain sebab cepat tumbuh dan cepat pula berbuah (dan sampai sekarang pohon mangga ini masih ada). Ketika selesai menanam pohon mangga itu, Bendurana meneruskan perjalanannya ke utara dan sampai di tempat yang bernama bubun batu di desa Pengala’(Kecamatan Rindingngallo). Di tempat itu Bendurana langsung bertemu dengan Landorundun. Landorundun bertanya kepada Bendurana dalam bentuk londe(pantun) katanya.

Apa tujuan apa maksudmu
Apa yang engkau cari hingga ke sini
Berjalan jauh tak mengitungkan lelah
Adakah engkau memberi piutang
Dan engkau datang menagihnya
Di negeri yang terpencil ini


Bendurana menjawab Landorundun dalam bentuk pantun.

Saya tidak berpiutang
Menagih utang yang lama pun tidak
Aku datang hanya melihat sesuatu
Penggulung rambut dari emas
Di negeri yang punya arti bagiku
Aku akan mendampingi engkau

Landorundun menjawab Bendurana

Tiada artinya engkau mendekat
Ibu belum sempat mengizinkan
Bersama seluruh keluarga
Berpisah pergi ke Bone

Setelah mendengar jawaban Landorundun itu, Bendurana kecewa lalu pergi menanam pohon mangga dekat tempat Landorundun turun ke sungai mencuci rambutnya. Pohon mangga ini lain dari pada pohon mangga biasa sebab cepat sekali tumbuh dan berbuah. Ketika buah mangga itu sudah mulai masak, pergilah Bendurana ke puncak gunung, bersembunyi dan mengintip dari atas. Secara kebetulan pada waktu itu, Landorundun turun ke sungai akan mencuci rambutnya. Setelah itu, ia naik ke darat berjemur sambil menyisir rambutnya. Pada saat itu dia melihat mangga yang sudah masak tidak jauh dari tempat itu. Landorundun pergi menjolok sebuah, kemudian memakannya sambil berjemur diri dan bersisir. Bendurana melihat peristiwa yang sudah dinanti-nantikan dari puncak gunung. Ia segera turun dari puncak gunung lalu purapura menghitung buah mangga itu. Setelah itu, ia menyindir Landorundun, katanya, ”Siapakah mengambil buah kesayanganku, menjolok, dan memakan buah manisku.” Landorundun merasa tersinggung mendengar sindiran Bendurana lalu ia berkata.

Siapa yang mengambil buahmu
Siapa yang memakan manggamu
Beri tahu si anak gembala
Bersama anak penjaga kerbau
Dialah yang memanjat manggamu
Memakan buah kesayanganmu
Bersama semua tanam-tanamanmu

Setelah Bendurana mendengar jawaban Landorundun, maka ia memanggil semua anak gembala yang ada di sekitar tempat itu dan menanyai satu persatu. Anak-anak gembala itu menjawab, ”Kami tidak pernah mengambil apalagi memakan mangga Bendurana.” Ada seorang di antara mereka itu berkata.

Landorundun mengambilnya
Memakan buah mangga itu
Bersama tanam-tanaman

Mendengar kata-kata anak gembala itu, Landorundun lalu mengaku dan berkata, ”Akulah yang sebenarnya mengambil buah manggamu dan terserah kepadamu hukuman apa yang harus aku jalani.” Pada saat itu Bendurana memutuskan untuk menikah dengan Landorundun dan keputusan ini diterima oleh Landorundun.

Ketika Bendurana bersiap untuk berangkat membawa Landorundun, ia mencari akal supaya mertuanya (Lambe’ Susu) tidak ikut berangkat bersama mereka. Ia menyuruh mertuanya pergi mengambil air di tebing gunung dan memberikan perian yang sudah dilubangi pantatnya untuk tempat air. Karena pantat perian itu bocor, air yang dimasukkan tidak kunjung penuh. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Bendurana untuk membawa Landorundun turun ke perahu lalu berangkat. Ketika Lambe’ Susumerasa bahwa perahu Bendurana sudah berangkat, ia pergi ke satu tempat bernama Mata   Bongiuntuk melihat keberangkatan anaknya. Akan tetapi, dari tempat itu Lambe’ Susu tidak dapat melihatnya karena suasana gelap menutupi daerah sekelilingnya. Tempat Lambe’ Susumemandang keberangkatan anaknya itu sampai saat ini masih ada bekasnya berupa tempat duduk dari batu. 

Bendurana dan Landorundun meneruskan perjalanannya menuju Bone. Ketika mereka sudah tiba di Bone dilangsungkanlah upacara pernikahan dengan menampilkan semua jenis pesta adat. Selama pesta berlangsung, Landorundun tidak pernah tertawa tersenyum pun tidak. Pada suatu ketika orang sengaja membawa burung gagak yang sudah terpotong kakinya sebelah ke halaman rumah. Burung gagak itu terlompat terpincang-pincang dan kelihatan lucu. Pada saat itulah Landorundun tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan burung gagak itu dan hiduplah Bendurana bersama Landorundun dalam suasana bahagia, rukun, dan damai. 

Demikian akhir cerita ini.