Asal Usul Gunung Penanggungan


Dahulu kala, Pulau Jawa masih dalam keadaan terapung-apung di lautan luas. Tempatnya pun berpindah-pindah. Arus lautlah yang membuat Pulau Jawa berpindah-pindah. Hal itu karena Pulau Jawa saat itu masih sangat ringan. Belum banyak pegunungan yang menjadi pemberatnya.


Keadaan Pulau Jawa saat itu membuat Batara Guru prihatin. Batara Guru adalah raja para dewa. Dia dengan dibantu para dewa bertugas menjaga seluruh dunia ciptaan Tuhan.

Batara Guru mencari akal untuk membuat Pulau Jawa menjadi berat agar tidak selalu berpindah-pindah tempat. Kegundahan hati Batara Guru diketahui oleh Batara Narada.

Batara Narada adalah dewa tertua yang menjadi penasihat Batara Guru. Batara Narada segera menemui Batara Guru. Batara Guru berterus terang kepada Batara Narada. Batara Narada mengangguk-angguk setelah mengetahui persoalan yang membuat hati Batara Guru gundah.

”Sebaiknya, kita potong saja puncak Gunung Mahameru di India. Potongan puncaknya kita bawa ke Pulau Jawa. Dengan begitu, Pulau Jawa akan menjadi berat,” kata Batara Narada.

”Benar juga pendapat Kanda Narada. Baiklah, sekarang kumpulkan para dewa. Suruh mereka memotong puncak Gunung Mahameru. Taruh potongan puncak gunung itu di Pulau Jawa!” kata Batara Guru.

Batara Narada segera melaksanakan perintah Batara Guru. Dikumpulkannya seluruh dewa. Diajaknya mereka terbang ke India untuk memotong puncak Gunung Mahameru. Potongan puncak Gunung Mahameru itu digotong beramai-ramai oleh para dewa. Mereka menggotongnya sambil terbang.

Saat sampai di sebelah barat Pulau Jawa, para dewa kelelahan. Potongan puncak gunung itu pun meluncur jatuh. Akibatnya, Pulau Jawa menjadi miring ke barat.

”Apa yang kalian lakukan? Lihat! Akibat perbuatan kalian, Pulau Jawa menjadi miring ke barat. Cepat ambil potongan puncak gunung itu!” teriak Batara Narada.

Para dewa cepat mengambil potongan puncak gunung itu. Mereka terbang kembali sambil membawa potongan puncak gunung menuju ke timur. Saat dibawa menuju ke timur itulah, ada serpihanserpihan tanah yang tercecer. Serpihan-serpihan itu jatuh dan menjadi beberapa gunung.

Di atas Pulau Jawa sebelah timur, para dewa kembali kelelahan. Potongan puncak gunung yang mereka bawa pun jatuh lagi. Kini, Pulau Jawa menjadi miring ke timur. Namun, kemiringannya tidaklah banyak.

Batara Narada terbang berkeliling untuk melakukan pengamatan dengan jeli. Sambil terbang berkeliling, pikirannya sibuk mencari akal agar Pulau Jawa dapat seimbang.

Akhirnya, ditemukan juga jalan keluarnya. Batara Narada segera menyuruh para dewa membawa terbang kembali potongan puncak gunung yang jatuh itu.

”Ayo, ikut aku!” ajak Batara Narada pada para dewa yang membawa terbang potongan puncak gunung. ”Kalau aku bilang jatuhkan, segera jatuhkan potongan puncak gunung itu!”

Di atas sebuah tempat, Batara Narada berhenti. Ia mengamati ke bawah. Sesekali, ia juga memandang ke barat dan timur. Batara Narada pun mengangguk-angguk puas.

”Ya, sekarang jatuhkan!” ujar Batara Narada. Para dewa segera menjatuhkan potongan puncak gunung itu. Potongan puncak gunung itu kemudian menjadi sebuah gunung. Gunung itulah yang menanggung keseimbangan Pulau Jawa. Batara Narada menamakan gunung itu Gunung Penanggungan.

Para dewa bisa bernapas lega. Batara Narada juga tersenyum puas. Batara Narada kemudian terbang untuk melaporkan kepada Batara Guru.

”Tugas yang Dinda bebankan kepada Kanda sudah selesai. Pulau Jawa tak akan hanyut lagi terbawa arus lautan. Potongan puncak Gunung Mahameru sudah kuletakkan di tempat yang tepat. Potongan puncak Gunung Mahameru itu telah menjadi sebuah gunung yang kuberi nama Gunung Penanggungan,” kata Batara Narada.

”Terima kasih, Kanda Narada. Sekarang, antarkan aku melihat potongan puncak Gunung Mahameru itu kauletakkan!”

”Baik, Dinda Guru!”

Batara Narada dan Batara Guru terbang bersama. Dari atas awan, Batara Guru melihat keadaan Pulau Jawa yang sekarang telah banyak gunungnya. Pulau Jawa pun sudah seimbang. Tidak lagi terombangambing oleh ombak lautan. Batara Guru lalu memerhatikan sebuah gunung.

”Itukah Gunung Penanggungan itu, Kanda Narada?” tanya Batara Guru.

”Benar, Dinda Guru!”

”Aku ingin turun ke Gunung Penanggungan itu. Ayo, Kanda Narada juga turun menemaniku!”

Batara Guru dan Batara Narada turun ke Gunung Penanggungan. Mereka berdua melihat-lihat keadaan Gunung Penanggungan dari dekat. Sewaktu melihat-lihat itulah, Batara Guru mandi sampai enam kali. Akibatnya, seluruh air di Gunung Penanggungan menjadi habis.

”Seluruh air Gunung Penanggungan sudah habis kupakai mandi. Padahal, aku masih ingin mandi lagi,” kata Batara Guru.

”Di sebelah Gunung Penanggungan masih ada gunung lagi, Dinda Guru. Kelihatannya, airnya juga masih banyak. Mandilah ke sana!”

Benar juga. Ternyata, gunung di sebelah Gunung Penanggungan masih banyak airnya. Hanya saja, air gunung itu berbau welirang (belerang). Oleh Batara Guru, gunung itu dinamakan Gunung Welirang.