Surat untuk Raja


Ki Ageng mempunyai tiga orang murid, bernama Sarjana, Manggala, dan Prasaja. Masing-masing mempunyai kelebihan. Sarjana adalah murid yang paling pandai. Dia rajin membaca sehingga berwawasan luas. Manggala mahir bela diri dan memainkan senjata. Sementara Prasaja sangat sederhana, jujur, dan rajin bekerja. Ketiganya hidup rukun dan saling menyayangi.


Suatu hari, Ki Ageng mendapat surat dari Raja. Dalam surat itu Raja meminta Ki Ageng untuk mencari seorang pengawal untuknya. Selesai membaca surat, Ki Ageng segera memanggil ketiga muridnya. 

"Murid-muridku, adakah di antara kalian yang berminat menjadi pengawal raja?" tanya Ki Ageng.

"Tentu saja, Bapa. Sudah lama saya ingin mengamalkan ilmu yang saya pelajari selama di sini," kata Sarjana.

"Saya pun demikian, Bapa. Saya ingin mempraktikkan ilmu silat yang saya kuasai dengan menjadi pengawal raja," sambung Manggala.

Berbeda dari dua temannya, Prasaja tak segera menjawab. Ia hanya diam dan menunduk.

"Kenapa kau diam, Prasaja? Apakah kau tidak ingin menjadi pengawal raja?" tanya Ki Ageng sambil menatap Prasaja.

"Maaf Bapa, bukannya saya tak ingin, tapi apakah saya mampu menjadi pengawal raja? Menggembala kambing saja saya kerepotan," jawab Prasaja lugu.

Ki Ageng mengangguk-angguk. "Baiklah, kalian bertiga berangkat ke kota raja. Temuilah Patih Kerajaan lalu berikan suratku ini," kata Ki Ageng seraya memberikan tiga gulungan daun lontar.

Esok harinya, berangkatlah ketiga murid Ki Ageng menuju Kota Raja. Sarjana dan Manggala memilih naik kuda agar cepat, sementara Prasaja lebih suka naik pedati yang ditarik oleh lembu. Dengan kecerdasannya, Sarjana bisa menemukan jalan pintas sehingga bisa cepat sampai di Kota Raja. Demikian pula dengan Manggala. Dengan ketangkasannya, Manggala memacu kudanya sehingga bisa lari dengan kencang. Sementara Prasaja dengan sabar menjalankan pedatinya. Sarjana tiba paling awal di Kota Raja. Dia segera menemui Patih Kerajaan untuk memberikan surat dari gurunya. Patih mengangguk-angguk ketika membacanya.

"Bagaimana, Gusti Patih? Apakah saya diterima menjadi pengawal raja?"

"Sabarlah, Sarjana. Baginda baru akan memberikan keputusannya pada saat bulan purnama nanti," sahut Patih seraya mempersilakan Sarjana tinggal di peristirahatan.

"Kenapa harus menunggu sampai bulan purnama, Gusti Patih?" tanya Sarjana.

"Aku tidak tahu. Aku hanya menjalankan titah Raja," sahut Patih.

Setelah Sarjana, tibalah Manggala di Kota Raja. Ia pun segera memberikan surat titipan gurunya kepada sang Maha Patih. Jawaban serupa diberikan kepada murid Ki Ageng tersebut. 

Selama tinggal di peristirahatan, Sarjana dan Manggala sangat senang. Mereka dilayani oleh para dayang yang cantik jelita. Lama-lama mereka terlena dan melupakan tujuan mereka datang ke Kota Raja. Prasaja dan pedatinya baru tiba di Kota Raja saat bulan purnama hampir tiba. Prasaja pun segera menemui Patih Kerajaan untuk memberikan surat yang dibawanya.

"Siapa namamu, anak muda?" tanya Patih.

"Hamba Prasaja, Gusti," sahut Prasaja sambil tertunduk.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau Raja akan memberikan keputusan untuk memilih pengawalnya pada saat bulan purnama?" tanya Maha Patih membuat Prasaja kebingungan.

"Apa maksud, Gusti Patih?"

"Ketahuilah Prasaja, kedua saudaramu sudah datang ke sini terlebih dahulu. Tapi ternyata mereka tidak tahan uji. Saat ini mereka lebih suka bersenang-senang dengan para dayang sehingga mereka lupa tujuan mereka datang ke sini," kata Maha Patih.

"Karena itu kaulah yang pantas menjadi pengawal raja."

Ternyata benar kata Patih tersebut. Raja memilih Prasaja untuk menjadi pengawal pribadinya. Hal itu sesuai dengan isi surat daun lontar yang diberikan Ki Ageng kepada Raja. Surat itu berbunyi: Baginda Raja, surat saya ini akan menunjukkan tabiat murid-murid saya. Maka silakan Baginda memilih salah satu di antara mereka. Prasaja terpilih karena dia sabar, tekun, dan bertanggung jawab.