Orang-orang Buta dan Seekor Gajah


Suatu ketika, Budha menceritakan sebuah ceritera tentang orang-orang buta dan seekor gajah. Budha tak mengerti mengapa banyak ajaran waktu itu, contohnya ajaran keagamaan,  saling mempersoalkan kebenaran dan masing-masing menyatakan hanya ajarannya sendiri yang  paling benar, sementara ajaran agama lain salah. Setelah Budha wafat, ceritera ini tersebar tidak  hanya di India saja, tetapi juga di negara dan budaya lain, ceritera ini dikenal dan diceritakan.  Sampai saat ini, cerita ini masih menjadi bacaan wajib dalam buku-buku pelajaran di sekolah.

Suatu ketika, seorang raja di India utara memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mengumpulkan orang-orang yang buta sejak lahir ke istana kota raja. Sang raja juga memerintahkan pegawainya untuk membawa seekor gajah ke istana. Orang-orang buta ini sepanjang hidupnya belum pernah sama sekali mengerti apa itu gajah. Mereka tidak tahu seperti  apakah gajah itu. Sekarang, sang raja memerintahkan mereka untuk menyentuhnya. Mereka  hanya diperbolehkan menyentuh bagian-bagian tertentu saja, bukan gajah secara keseluruhan.  Setelah beberapa waktu menunggu, mereka dipersilahkan mengatakan, bagaimana dan apa itu gajah.


Seorang buta yang telah meraba bagian kakinya membandingkan gajah dengan  gelondong kayu. Seorang buta yang telah meraba perutnya membandingkannya dengan sebuah  balon. Seorang buta yang telah meraba taringnya membandingkannya dengan sebatang kayu  yang bulat dan halus. Seorang buta yang telah meraba kepalanya membandingkannya dengan sebuah panci. Seorang buta yang telah meraba belalainya membandingkannya dengan selang air. Akhirnya seorang buta lain yang telah meraba bagian ekornya tidak mau ketinggalan. Ia membandingkan seekor gajah dengan tali tambang yang sudah rusak.Masing-masing dari mereka memiliki penjelasannya sendiri tentang seekor gajah.

Oleh karena gambaran mereka tentang gajah berbeda, mulailah mereka bertengkar. Masing-masing sangat yakin bahwa hanya penjelasannyalah yang paling benar dan kepunyaan yang lainnya salah. Akhirnya mereka saling berantem dan dengan demikian sang  raja terhibur.

Siapakah yang salah dan siapakah yang benar? Adakah seorang dari mereka memiliki kebenaran? Yang pasti sang rajalah yang salah karena telah mempermainkan orang buta. Bagi  orang-orang buta sejak lahir, sangatlah sulit mendeskripsikan gajah tanpa merabanya secara  utuh. Masing-masing dari mereka telah menggambarkan dengan tepat apa yang mereka  rasakan. Mereka telah melakukannya dengan benar. Masing-masing mengatakan kebenaran.  Tak seorang pun berbohong karena mereka hanya diperbolehkan meraba bagian-bagian  tertentu saja.

Kesalahan dari masing-masing orang buta tersebut bukan soal kualitas dari  penjelasannya, melainkan keyakinan dan pernyataan tentang gajah secara keseluruhan dan  menganggap penjelasannyalah yang paling benar. Tak seorang pun memiliki gagasan bahwa  masing-masing hanya menjelaskan satu bagian saja.cara keseluruhan. 

Kesalahan dari masing-masing orang buta tersebut bukan soal kualitas dari penjelasannya, melainkan keyakinan dan pernyataan tentang gajah secara keseluruhan dan menganggap penjelasannyalah yang paling benar. Tak seorang pun memiliki gagasan bahwa masing-masing hanya  menjelaskan satu bagian saja.

Bayangkan seumpama satu di antara mereka seorang ilmuwan, maka ia akan mencari penyelesaian dengan gaya para ilmuwan, yaitu dengan metode persentase atau statistik. Ia akan  segera mendata berapa banyak orang buta yang membandingkan dengan selang air, berapa persen  yang membandingkannya dengan gelondongan kayu, dan seterusnya.

Akhirnya ia memperoleh hasil sebagai berikut: 40% membandingkannya dengan gelondongan kayu, 20% dengan batang kayu yang bulat dan halus, dan masing-masing 10% dari mereka yang  membandingkannya dengan panci besar, sebuah balon, selang air dan tali tambang yang rusak.  Sangat logis bukan? Seekor gajah memiliki 4 kaki besar seperti gelondong kayu (40%) dan 2 taring  (20%), Sedangkan untuk kepala, belalai, perut dan ekor hanya 1 (10%). Sebagaimana para ilmuwan  meyakini bahwa kemayoritasan memainkan peranan, cenderung yakin bahwa mayoritas adalah  kebenaran, maka ia menyatakan bahwa seekor gajah itu seperti gelondongan kayu karena hampir  setengah menyatakannya. Jadi di dalam kasus ini, mayoritas tidak otomatis sebuah kebenaran. 

Oleh sebab itu, hanya ada satu pemecahan dari persoalan ini. Orang-orang buta yang hanya meraba bagian-bagian tertentu tersebut harus bekerja sama. Mereka harus bekerja seperti merangkai  gambar dari sebuah gambar yang telah dipotong-potong. Lantas katakanlah, seekor gajah itu terdiri  dari 4 gelondongan kayu, 2 batang kayu yang bulat dan halus, 1 balon, 1 panci, 1 selang air dan satu  tali tambang buntut. Dengan demikian, mereka akan mampu memperolah gambaran tentang seekor  gajah secara keseluruhan. Mereka harus menghentikan perselisihan dan bekerja sama. Mereka harus  menyatukan gambaran masing-masing dengan gambaran yang didapat temannya. Mereka harus mau  belajar dari yang lain. Masing-masing harus menerima dan memahami bahwa ada kebenaran dari  penjelasan orang lain. Masing-masing harus mempertimbangkan bahwa mereka bukan satu-satunya  pemaham kebenaran.

Barangsiapa mau membagi pengetahuan dengan orang lain, ia tak akan sedikit pun kehilangan.  Justru sebaliknya, jika pengetahuan dibagi, pengetahuannya tidak akan berkurang melainkan bertambah.  Kita manusia memang seperti dongeng orang-orang buta ini. Kita tetap buta, kita mirip mereka ini.
1)  Kita hanya mengambil sebagian (secuil) dari keseluruhan sebuah kenyataan.
2)  Kita hanya memahami sebagian (secuil) dari kekompleksan sebuah kenyataan.
3)  Kita hanya memegang sebuah pengertian yang terbatas dari seluruh kenyataan.
4)  Kita hanya ingin selalu melawan dan menentang apa yang berbeda dari kita.
5)  Kita berjuang mati-matian mempertahankan pernyataan kita sebagai satu-satunya kebenaran.
6)  Kita hanya ingin tampak pandai dengan perselisihan, bukan belajar.
7)  Kita harus bertindak ini (menerima, mendengarkan, dan memahami apa yang dikatakan orang  lain), jika kita ingin mengetahui lebih banyak.