Man Doblang (Tinggi Badan Baginda Raja)


Kesulitan rakyat Mataram tidak hanya datang dari kekuasaan rakus Belanda. Kadang juga dari kalangan keraton sendiri. Lebih sulit lagi jika pangkal soalnya adalah Baginda Raja sendiri. Masalah Raja menjadi malapetaka. Baginda Raja tetaplah dianggap penguasa tunggal, penguasa tertinggi. Sampai sekarang pun, bayangan tubuhnya tak ada yang berani menginjak. Memandang langsung pun tak diizinkan, kecuali sedang diajak bercakap. Itu pun diawali dan diakhiri dengan gerakan menyembah.




Masalah sederhana ini terjadi ketika Mantri Pribadi harus mengisi formulir mengenai data diri Baginda Raja. Kolom mengenai tanggal lahir, nama keluarga, berat badan, semua bisa terisi. Kecuali kolom tinggi badan Baginda Raja. Isinya masih titik-titik. Karena tidak ada yang berani mengukur tinggi badan Baginda Raja. Karena itu artinya menyentuh kepala Baginda Raja.

Mantri Pribadi pernah meminta tolong Permaisuri agar mengukur tinggi Badan Baginda kala tidur. Tapi upaya ini gagal karena Permaisuri takut saat diukur Baginda terbangun. Pernah pula diupayakan cara lain. Ketika Baginda Raja berdiri dekat dinding, diperkirakan tingginya. Tapi ini tidak akurat. Kalau berbohong mengenai Baginda Raja, hukumannya sangat berat.

Dalam keadaan putus asa, Mantri Pribadi menemui Man Doblang untuk minta tolong.

“Kepada siapa lagi saya minta tolong, Paman?”

“Bawa meteran, langsung diukur. Kalau Baginda Raja marah, katakan bahwa Pak Mantri diperintahkan mengisi formulir.”

“Saya bisa dipecat, dan seluruh keluarga saya akan dihukum.”

“Karena Pak Mantri sudah berusaha sepenuh tenaga, saya bersedia membantu.”

Mantri Pribadi sangat gembira. Meskipun masih was-was akan nasib Man Doblang. Dengan cara bagaimana Man Doblang mengukur tinggi badan Baginda Raja?

Agaknya Baginda Raja telah mengetahui bahwa Man Doblang akan menemui untuk mengukur tinggi badannya. Pada kesempatan pertama, permohonan menghadap Man Doblang langsung diizinkan.

“Ingsun memang ingin menguji para mantri dan cerdik cendikiawan di keraton ini,” kata Baginda Raja yang selalu menyebut dirinya dengan ‘ingsun’. 

“Akhirnya, kamu juga akan maju menghadap Man Doblang. Apakah kamu akan mengukur dari ujung rambut ke ujung kaki ingsun?”

Man Doblang menyembah. “Tidak ada yang berani melakukan perbuatan yang kurang ajar itu.”

“Lalu bagaimana caramu?”

“Hamba memohon Baginda mengukur sendiri.”

“Ingsun tidak mau melakukan itu. Kalian yang harus berusaha untuk Ingsun.”

“Kalau demikian halnya, perkenankan Baginda mengukur panjang tangan Baginda yang direntangkan.”

Meskipun bertanya-tanya dalam hati, Baginda Raja mengukur panjang tangan yang direntangkan. “Seratus enam puluh delapan senti.”


“Kalau demikian, tinggi badan Baginda seratus enam puluh delapan senti.”

“Mana mungkin?”

Kali ini Baginda mengukur tinggi tubuhnya. Dari ujung kaki yang menginjak. Persis sama!

“Luar biasa, kamu memang luar biasa Man Doblang. Kamu bisa mengukur tinggi tubuh ingsun, bahkan tanpa menyentuh sehelai rambut ingsun. Luar biasa.”

“Begitu ukuran tubuh kita semua, Baginda…”

“Kalau ternyata tidak cocok?”

“Bahkan, kita telah mengetahui tinggi badan Baginda yang sesungguhnya karena Baginda telah mengukur sendiri?”

Baginda Raja puas dengan jawaban Man Doblang. Bahkan, kemudian menawarkan jabatan sebagai Mantri Pribadi. Atau jabatan lain yang setingkat dengan itu. Atau bahkan Mantri Perang! Man Doblang menolak dengan halus.

“Seorang mantri adalah ibarat jari dan tangan Paduka Baginda. Mereka harus orang yang tepat dan menguasai kementriannya. Tujuannya memperingan tugas Baginda…” Ini bukan pertama kalinya Man Doblang menolak jabatan atau pangkat tinggi. Bagi Man Doblang bukan harta, bukan juga kekuasaan yang dicari. Melainkan ketenangan dan kedamaian dan bisa membantu sesama. Ini semua bisa dilakukan tanpa perlu jabatan yang tinggi atau kekuasaan yang besar.