Kisah Kalayakkhini


Alkisah ada sepasang suami istri  yang tidak kunjung dikaruniai anak.  Sang istri karena takut diceraikan oleh suaminya, ia menganjurkan suaminya  untuk menikah lagi dengan wanita lain  yang dipilih olehnya sendiri. Suaminya menyetujui dan tak berapa lama kemudian istri kedua itu mengandung. 

Ketika istri pertama mengetahui  bahwa istri kedua hamil, ia menjadi  tidak senang. Dikirimkannya makanan yang telah diberi racun sehingga istri  kedua itu keguguran. Demikian pula  pada kehamilan yang kedua. Pada kehamilannya yang ketiga, istri kedua itu tidak memberi tahu kepada istri  pertama. Karena  kondisi  fisiknya kehamilan itu diketahui juga oleh istri  pertama. Berbagai cara dicoba oleh istri  pertama agar kandungan istri kedua itu gugur lagi. Akibat perbuatan itu  akhirnya istri kedua pun meninggal  dunia pada saat persalinan. Sebelum  meninggal, wanita malang itu dengan  hati yang dipenuhi kebencian bersumpah untuk membalas dendam kepada istri  pertama. Sejak saat itu permusuhan pun dimulai.

Pada kelahiran berikutnya, istri pertama dan istri kedua terlahir sebagai seekor ayam  betina dan seekor kucing. Keduanya selalu bermusuhan, kucing selalu memakan telur-telur ayam betina sehingga ayam pun dendam. Setelah mati, sang ayam lahir sebagai seekor macan tutul dan sang kucing lahir sebagai seekor rusa betina. Sang macan selalu  makan anak rusa setiap kali sang rusa betina melahirkan. Akhirnya, pada waktu zaman  Buddha, istri pertama terlahir sebagai seorang wanita perumah tangga di Kota Savatthi  dan istri kedua lahir sebagai peri yang bernama Kali.

Suatu ketika sang peri (Kalayakkhini) terlihat sedang mengejar-ngejar wanita tersebut dengan bayinya. Ketika wanita itu mendengar bahwa Buddha sedang membabarkan Dhamma di Vihara Jetavana, ia berlari ke sana dan meletakkan bayinya di kaki  Buddha sambil memohon perlindungan. Adapun peri tertahan di depan pintu vihara oleh dewa penjaga vihara. Akhirnya, peri diperkenankan masuk, dan kedua wanita itu diberi nasihat oleh Buddha.

Buddha pun menceritakan asal mula permusuhan mereka pada kehidupan yang  lampau. Mereka telah dipertemukan untuk melihat bahwa kebencian hanya dapat  menyebabkan kebencian yang makin berlarut-larut, tetapi kebencian akan berakhir melalui persahabatan, kasih sayang, saling pengertian, dan niat baik. Kemudian Buddha  mengucapkan Dhammapada syair 5 berikut ini: Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi,  kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi. 

Kedua wanita itu akhirnya menyadari kesalahan mereka, keduanya berdamai,  dan permusuhan itu berakhir. Buddha kemudian meminta kepada wanita itu untuk menyerahkan anaknya untuk digendong peri. Takut akan keselamatan anaknya, wanita  itu ragu-ragu. Tetapi, karena keyakinannya yang kuat terhadap Buddha, ia segera  menyerahkan anaknya kepada peri. Peri menerima anak itu dengan hangat. Anak itu  dicium dan dibelainya dengan penuh kasih.