Gesang, Sang Maestro yang Bersahaja


“Si Piatu, datang menangis ingatkan nasibnya, nasibnya yang sangatlah malangnya.
Oh, dia Si Piatu, susah tak bertemu ayah dan bundanya, untuk selama-lamanya ...”


Gesang
Seandainya bocah lelaki bernama Sutadi tidak menderita sakit-sakitan, bisa jadi jagat musik Indonesia tak pernah memiliki seorang maestro keroncong yang karyanya dikenal di berbagai belahan dunia. Dialah Gesang, komponis kondang lagu Barangkali memang sudah suratan takdir. Ayahanda Sutadi yang bernama Martodihardjo, akhirnya mengganti nama anak lelaki paling bontot itu dengan Gesang. Sepotong nama yang sangat bermakna, yakni hidup dan membawa si pemiliknya sampai usia 87 tahun. Selama itu pula, Gesang mengabdikan hidup di jagat seni musik keroncong dengan karya-karya bermutu.

Kisah hidup Gesang yang semasa kecilnya berada di lingkungan juragan batik Kampung Kemlayan, kini di usianya yang kian renta dan sering sakit-sakitan, jiwa seni Gesang tetap seperti semasa mudanya. Kendati jalannya tertatih-tatih dan gerakan seniman tua itu juga semakin lamban, dia masih cukup bergairah jika diundang ke pentas musik keroncong. Postur tubuhnya yang tetap tegap, juga menyiratkan betapa semangat hidup Gesang seperti tak pernah surut. 

Darah seni yang mengalir di tubuh Gesang, sudah lama menggelegak sejak masa kanak-kanaknya. Bahkan, tatkala anakanak sebayanya (termasuk kakak kandungnya yang dipanggil Mas Yazid) menggemari olahraga keras seperti sepakbola, Gesang kecil lebih senang bersenandung, dalam bahasa Jawa disebut rengeng-rengeng. Dari kebiasaan rengeng-rengeng sambil berimajinasi itulah, pada gilirannya Gesang melahirkan karyakarya lagu berirama keroncong yang liriknya sederhana namun mengena.

Pertama kali Gesang menggubah lagu adalah pada tahun 1934. Ketika usianya belum genap 20 tahun. Gesang telah menghasilkan lagu yang dia beri judul “Si Piatu”. Sebuah rumah bertipe-36 di Pelumnas-Palur, Karanganyar, Solo, barangkali adalah satu-satunya harta benda paling berharga yang dimiliki Gesang. Rumah pemberian Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Rustam itu, baru diperoleh saat Gesang mencapai usia
62 tahun. Selain itu, ada juga simpanan uang di bank yang berasal dari para donatur, seperti Yayasan Gesang yang menghimpun dana dari Jepang atau dari royalti lagu “Bengawan Solo” yang dikumpulkan Rinto Harahap dan lain-lain. Namun dana abadi itu hanya bisa digunakan Gesang dari bunganya untuk biaya hidup di hari tuanya. Itupun sebagian pernah digasak penjambret. Kejadiannya sewaktu Gesang pulang dari bank membawa uang sebanyak Rp 5 juta untuk persiapan Lebaran. Kehilangan itu dia ikhlaskan karena Gesang tak ingin masalah itu menjadi beban.

Gesang yang lahir dari keluarga pengusaha batik, memang telah menjatuhkan pilihan menekuni jagad seni musik keroncong. Tekadnya hidup di jalur seni musik keroncong yang diakui sebagai khas Indonesia itu, tampak tatkala dia menolak pemberian mendiang ayahnya, berupa toko batik. Gesang yang hanya menyelesaikan pendidikan kelas lima Sekolah Rakyat Ongko Loro, termasuk seniman berbakat alam yang sulit dicari tandingannya. Itu pula sebabnya, komponis

Gesang menyimpan sederet penghargaan dari berbagai lembaga. Piagam penghargaan yang diterima dari dalam negeri, seperti dari wali kota, gubernur, Dephankam, Deppen dan yang tertinggi penghargaan hadiah seni dari Presiden RI. Gesang juga mendapat penghargaan dari Oisca International untuk karyanya sebagai pencipta lagu “Bengawan Solo”.

Perjalanan hidup Gesang sepanjang 87 tahun memang begitu panjang. Berbagai kota di tanah air telah dia kunjungi dan kotakota di mancanegara pun, seperti Singapura, Jepang, Suriname, dan lain-lain pernah dia datangi. Semua itu tiada lain untuk mengumandangkan lagunya yang legendaris, “Bengawan Solo”.

Di usianya yang ke-87 sekarang ini, komponis Gesang adalahsebuah aset yang sangat berharga di tanah air. Dalam kerentanannya, Gesang tidak lagi seperti semasa mudanya. Di hari-hari tuanya, Gesang yang memiliki hobi memelihara burung kicauan tidak lagi dapat mencari belalang di ladang-ladang untukburung piaraannya. Sepeda motor kesayangannya Honda bebek C-70 yang dahulu begitu setia menemani perjalanan komponis tua itu, kini juga menjalani masa pensiun.

Bahkan, rumahnya yang terletak di Jln. Nusa Indah No. 40 Perumnas-Palur yang semula dihuni maestro keroncong itu, kini sehari-hari sunyi. Pemiliknya, Gesang yang kian renta terpaksa menumpang di rumah keponakannya di Solo. Kita doakan saja, semoga Gesang dengan karyanya yang mengharumkan nama Indonesia mendapat karunia panjang usia, sehat, dan sejahtera

0 Response to "Gesang, Sang Maestro yang Bersahaja"

Post a Comment