Dialog Sri Rama dengan Dewi Sobari tentang Sembilan Jalan Bakti (Nawa Bhakti)

Dalam Epos Ramayana juga disebutkan bahwa Dewi Sobari seorang Nenek tua yang giginya telah ompong, namun perilakunya mulia dan bijaksana. Dia berniat untuk menuju alam bebas agar rohnya bisa menyatu dengan Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.

Saat itu Dewi Sobari sedang melakukan Homa Yajña yaitu pemujaan terhadap Pancaran Api Dharma dari Guru Mulya. Saat itu lewatlah Sri Rama bersama adiknya Laksamana. Sri Rama berkata kepada Laksamana. Lihatlah Laksamana, Api Dharma dari Guru Mulya masih tetap menyala sekalipun sudah bertahun-tahun ditinggalkan oleh Guru Mulya. Masih tetap menyala sekalipun sekarang dunia telah dimasuki oleh segala kekerasan dan kepanasan. Sri Rama bersama Laksamana menghaturkan sembah dan mohon agar diberikan kekuatan sinar bhaktinya untuk melaksanakan kewajiban Dharma di dunia ini. Lalu Sri Rama mohon pamit pada nenek tua yang bernama Dewi Sobari. 

Dewi Sobari melarang kepergian Sri Rama. Oh tuanku, sebelum tuan pergi saya lebih dulu mohon berangkat untuk menyusul Guru Mulya.Sebelum saya berangkat saya harus dapat melakukan bhakti kaki tarateng kepada tuan dan mohon ajarkan sembilan jalan Bhakti yang langsung keluar dari bibir tuan. Mendengar permintaan Dewi Sobari seperti itu lalu Sri Rama berkata, Oh Ibu: sebuah Tahta/Kekuasaan, Kasta/Keturunan, Mahkota/Kebesaran, dan kepintaran itu semuanya tidak akan berarti jika dibandingkan dengan rasa bhakti yang tulus pada hati ibu sendiri terhadap Guru Mulya dan Sang Hyang Widhi Wasa. Oleh karena jalan bhakti itu yang ibu minta, maka saya akan anugrahkan kepada ibu terimalah kata Sri Rama. 

Tolong dengarkan dan camkan di dalam hati agar keinginan Ibu bertemu dengan Guru Mulya dapat terlaksana. Oh Ibu inilah Sembilan jalan Bhakti yang kumiliki:
1. Utamakan bersahabat dengan orang suci.
2. Tekun mempelajari kisah-kisah sang guru.
3. Mengabdi kaki pada sang guru untuk keutamaan para dewata.
4. Menyanyikan lagu-lagu pujaan kepada yang Maha Kuasa.
5. Mengidungkan nama suciku (Sri Rama).
6. Mengendalikan diri agar terhindar dari hal-hal yang tidak baik.
7. Memandang orang suci selalu lebih tinggi.
8. Bergembiralah dan jangan bermimpi melihat kesalahan orang lain.
9. Menuntut kesederhanaan dan tidak boleh menipu daya dalam segala tingkah laku.

Dalam buku Srimad Bhagavatham (Ketut Wiana) ada sembilan bentuk bakti (nawa bhakti): Sravanam= mendengarkan, Kirtanam, = kidung suci, Smaranam= mengingat, Padasewanam = mencium altar, Dasyam= Kerja bhakti, Wandenam= membaca kitab suci, Sandhya Bhakti= mengawali doa, Sakyanam= kedekatan, Atmaniwedanam= penyerahan diri total pada Tuhan.

Setelah Sri Rama menyebutkan ajaran Sembilan jalan bhakti Dewi Sobari pun dapat memahami dan melakukan Bhakti Tarateng kepada Sri Rama. Kemudian Dewi Sobari berdiri tegak dengan sikap tangan Giri Mudra selanjutnya beliau mencapai Parama Moksha yaitu tingkat mokshayang tertinggi karena roh dan badan wadahnya musnah di dunia. Melihat kejadian itu kemudian Sri Rama bersama adiknya Laksamana menghaturkan sembah bhakti kepada Roh Dewi Sobari yang telah mencapai Parama Moksha dengan mengucapkan: “Oh Ibu terimalah sembah bhaktiku semoga kewajibanku menjalankan Bhakti selalu dapat aku laksanakan dalam kehidupan ini.”

Demikianlah dialog Sri Rama dengan Dewi Sobari. Salah satu dari ajaran Catur Marga yaitu Bhakti Marga sangat memungkinkan seseorang untuk bisa mencapai Moksha, asalkan Bhakti Marga tersebut dijalankan dengan dasar kewajiban yang tulus untuk berbakti kepada Guru Mulya. Seperti apa yang dilakukan oleh Sri Rama terhadap orang tuanya Prabhu Dasarata. Dari keempat putra Prabhu Dasarata, Rama merupakan saudara yang tertua. Dari status mestinya Sri Rama sebagai pengganti ayahanda Dasarata, tetapi karena Ibu Dewi Sumitra menghendaki Barata putranya sendiri yang harus menjadi Raja di Ayodhya, maka Sri Rama dengan rela dan tulus memberikan tahta tersebut kepada adiknya. 

Didasari oleh rasa bhaktinya kepada orang tua kemudian Rama disuruh menjaga pesraman para Resi di dalam hutan agar tidak diganggu oleh para Raksasa. Atas perintah Prabhu Dasarata sebagai pemegang kekuasaan, Rama bersama dengan Istrinya  Dewi Sita dan adiknya Laksamana pergi meninggalkan kerajaan menuju hutan. Betapa mulianya pikiran dan sikap Rama terhadap orang tuanya. Di samping itu Rama tidak pernah haus kekuasaan, tidak terlena dengan harta yang melimpah, tidak ingin dihormati karena jabatan. Semua itu tidaklah menjadi ukuran keagungan baginya. Sekalipun beliau berada dalam hutan, kalau sudah berpikir yang suci, berperilaku yang bijaksana orang akan selalu menyebut-nyebutkan kemuliaannya dan selalu akan menjadi suri tauladan sepanjang masa.

Cerita di atas memberikan gambaran kepada kita betapa besarnya arti pendidikan dalam kehidupan. Betapa besarnya makna sebuah kerukunan dalam keluarga serta betapa tingginya nilai bhakti dan keyakinan sehingga mampu untuk mencapai jalan kebahagiaan.